Kamis, 23 Juni 2011

Prinsip Pembedaan

LATAR BELAKANG

Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia.

Jean-Jacques Rousseau memberikan inpirasi bagi perkembangan prinsip-prinsip perang. Dia bilang bahwa tujuan perang untuk menghancurkan negara musuh adalah sah secara hukum apabila membunuh prajurit yang menjadi pertahanan terakhir musuh sejauh mereka membawa senjata, tetapi segera setelah mereka meletakkan senjata dan menyerah, mereka bukan lagi musuh atau agen musuh, kini mereka kembali menjadi orang biasa, dan tidak lagi sah secara hukum untuk mengambil hidup mereka.

Para perancang Deklarasi St. Petersburg memformulasikan prinsip-prinsip pembedaan, prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu dan prinsip kepentingan kemanusiaan dan keperluan militer. Bahwa satu-satunya objek yang paling sah dicapai oleh suatu Negara selama perang adalah melemahkan angkatan bersenjata dari pihak lawan.

Pada Abad ke 18 Jean Jacques Rosseau dalam bukunya the social Contract mengajarka bahwa perang harus berlandaskan pada moral. Konsep ini kemudian menjadi landasan bagi Hukum Humaniter Internasional.

Landasan tersebut adalah Prinsip atau asas Pembedaan ('Distintion Prinsiple') merupakan suatu asas penting dalam Hukum Humaniter. Salah satu alasan perlunya pembedaan demikian adalah untuk mengetahui mereka yang boleh turut serta dalam permusuhan , sehingga boleh dijadikan sasaran atau objek kekerasan, dan mereka yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan sehingga tidak boleh dijadikan objek kekerasan.  Penduduk sipil yan tidak turut serta dalam permusuhan tersebut , harus dilindungi dari tindakan peperangan itu.  Menurut Jean Pictet, prinsip pembedaan ini berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ratione personae.

Makalah ini akan membahas secara umum mengenai Distinction Principle ini. Diketahui bahwa pada saat terjadi peperangan maka disana juga masih terdapat hukum – hokum yang seharusnya diberlakukan hukum tersebut adalah hokum perang. Hukum perang merupakan bagian dari hukum Internasional. Sampai dengan sekarang, dengan disetujuinya protocol – protocol tambahan 1977, hukum perang mencangkup kurang lebih enam ratus artikel.

RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang masalah diatas, maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, antara lain sebagai berikut:

  1. Apakah yang dimaksud dengan Distinction Principle?
  2. Apa tujuan adanya Distinction Principle dalam hukum humaniter Internasional ?
  3. Apa dasar hukum prinsip pembedaan dalam Hukum Humaniter ?
  4. Apa akibat hukumnya apabila Distinction Principle tersebut dilanggar oleh para pihak yang berperang ?


 

A. Pengertian Distinction Principle

Prinsip Pembedaan (distinction principle) merupakan suatu prinsip dalam Hukum Humaniter yang membedakan atau membagi penduduk(warga negara) dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata(armed conflict), ke dalam dua golongan besar, yakni kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam pertempuran(hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak berhak untuk turut serta dalam suatu pertempuran.

Di samping pembedaan secara subyek (yakni membedakan penduduk menjadi golongan kombatan dan penduduk sipil), maka prinsip pembedaan ini membedakan pula objek-objek yang berada di suatu negara yang bersengketa menjadi dua kategori pula, yaitu objek-objek sipil (civilian objects) dan sasaran-sasaran militer (military objectives). Objek sipil adalah semua objek yang bukan objek militer, dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan sasaran serangan pihak yang bersengketa. Sebaliknya, jika suatu objek termasuk dalam kategori sasaran militer, maka objek tersebut dapat dihancurkan berdasarkan ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter.

Suatu objek yang dianggap sebagai sasaran militer bukan hanya meliputi objek-objek militer saja seperti tank, barak-barak militer, pesawat mliter atau kapal perang sebagaimana terlihat pada gambar di samping, akan tetapi yang termasuk sasaran militer adalah semua objek dapat dikategorikan sebagai sasaran militer berdasarkan ketentuan Hukum Humaniter.

B. TUJUAN ADANYA DISTINCTION PRINCIPLE

Menurut Mochtar Kusumahadmadja, fungsi diadakannya Distinction Principle adalah :

1.      Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk  sipil dari penderitaan yang  tidak perlu.

2.      Menjamin Hak Asasi Manusia Yang sangat fundamental bagi Mereka yang jatuh ke tangan musuh

3.      Mencegah dilakukanya perang Kejam tanpa mengenal batas disini yang terpenting adalah Asas prikemanusiaan

Tujuan Distinnction Principle dalam Hukum humaniter Internasional adalah untuk melindungi semua peserta perang yaitu Combatan ( angkatan perang ) dan penduduk sipil. Hukum tersebut membatasi atas dasar kemanusiaan hak – hak pihak yang terlibat pertikaian untuk menggunaan beberapa senjata dan metode berperang tertentu, serrta member perlindungan kepada korban maupun harta beda yang terkena akibat pertikaian bersenjata

Menurut Jean Pictet, prinsip pembedaan ini berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ratione personae. Yang menyatakan, 'the civilian population and individual civilians shall enjoy general protection against danger arising from military operation'. Asas umum ini memerlukan penjabaran lebih jauhke dalam sejulah asas pelaksanaan (principles of application), yakni:

a.       Pihak – pihak yang bersengketa, setiap saat, harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objek – objek sipil.

b.      Penduduk sipil, demikia pula orang sipil secara perorangan, tidak bolah dijadia objek serangan (walaupun) dalam hal reprisals ( pembalasan ).

c.       Tindakan maupun ancaman kekerasan yang tujua utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil adalah dilarang.

d.      Pihak – pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahanyang memungkinkan untuk menyelamatka penduduk sipil atau setidak – tidaknya , untuk menekan kerugian atau kerusakan yag tak disengaja menjadi sekecil mungkin.

e.       Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.

Jadi, secara normatif prinsip ini dapat mengeliminasi kemungkinan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil. Dengan demikian berarti memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap Hukum Humaniter, khususnya ketentuan mengenai kejahatan perang, yang dilakukan oleh kombatan dengan sengaja.

C. dasar hukum prinsip pembedaan dalam Hukum Humaniter ?

Sebagai prinsip pokok, prinsip pembedaan telah dicantumkan di dalam berbagai instrumen Hukum Humaniter, baik di dalam Konvensi Den Haag 1907, dalam Konvensi Jenewa 1949, maupun dalam Protokol Tambahan I tahun 1977.
a) Konvensi Den Haag 1907

Istilah prinsip pembedaan secara implisit terdapat di dalam Konvensi Den Haag IV (Konvensi mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat), khususnya dalam lampiran atau annex-nya yaitu Regulations respecting Laws and Customs of War, lebih dikenal dengan sebutan Hague Regulations (Regulasi Den Haag). Bagi kalangan angkatan bersenjata, ketentuan yang terdapat dalam Regulasi Den Haag dianggap sangat penting, sehingga sering disebut sebagai the soldier's vadamecum.

Pasal 1 Regulasi Den Haag 1907 menentukan bahwa : hukum, hak, dan kewajiban perang bukan hanya berlaku bagi tentara saja (army), melainkan juga bagi milisi dan korps sukarela, sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam angka 1 sampai dengan 4 dari Pasal 1 Regulasi Den Haag. Bahkan, dalam alinea selanjutnya dari pasal itu, juga ditegaskan bahwa di negara-negara di mana milisi dan korps sukarelawan merupakan tentara atau merupakan bagian dari tentara, maka milisi dan korps sukarela itu juga dapat disebut juga sebagai tentara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 itu.

Berdasarkan Pasal 2 Regulasi Den Haag, maka ternyata ada pula segolongan penduduk sipil yang dapat dimasukkan ke dalam kategori belligerents, sepanjang memenuhi persyaratan yaitu :

1. Mereka merupakan penduduk dari wilayah yang belum diduduki;
2. Mereka secara spontan mengangkat senjata atau melakukan perlawanan terhadap musuh yang akan memasuki tempat tinggal mereka; dan oleh karena itu
3. Mereka tidak memiliki waktu untuk mengatur (mengorganisir) diri sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1;
4. Mereka menghormati (mentaati) hukum dan kebiasaan perang; serta
5. Mereka membawa senjata secara terang-terangan.

Sehingga, golongan penduduk sipil dalam koridor Pasal 2 Regulasi Den Haag itulah yang dikenal dengan istilah "levee en masse".

Dengan memperhatikan uraian di atas maka dapatlah diketahui bahwa berdasarkan Regulasi Den Haag, maka hak untuk ikut serta dalam pertempuran, tidak melulu hanya bisa dilakukan oleh tentara saja, namun penduduk sipil juga punya hak untuk bertempur, asalkan saja memenuhi ketentuan Regulasi Den Haag di atas. Dengan kata lain golongan-golongan penduduk yang dapat turut serta secara aktif dalam pertempuran menurut Regulasi Den Haag 1907, yaitu :

1. Armies (Tentara);
2. Militia dan Volunteer Corps (Milisi dan Korp Sukarela) dengan memenuhi persyaratan tertentu;
3. Penduduk sipil dalam kategori sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Regulasi Den Haag; yang disebut "levee en masse".


 

Aturan-aturan Hukum Humaniter mengenai hal ini kemudian diperbarui di dalam ketentuan Hukum Humaniter berikutnya, yakni di dalam Konvensi Jenewa 1949 dan dalam Protokol Tambahan I tahun 1977.

b. Konvensi Jenewa 1949

Ketentuan mengenai prinsip pembedaan juga diatur dalam Konvensi Jenewa 1949, yakni dalam Konvensi Jenewa I, II dan III. Hanya saja, sedikit berbeda dengan aturan dalam Regulasi Den Haag yang menetapkan persyaratan sebagai belligerent, maka dalam Konvensi Jenewa yang ditentukan adalah "siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan perlindungan" dan "siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan perlakuan sebagai tawanan perang apabila tertangkap pihak musuh".

II.                AKIBAT HUKUM ADANYA PELANGGARAN TERHADAP DISTINCTION PRINCIPLE

Hukum Perang adalah salah satu bagian dari hukum Internasional. Diketahui pula bahwa salah satu kelemahan yag cukup mencolok dari hukum Internasioal adalah bahwa seoah – olah tidak ada sanksi . Seorang ahli menyataka International Law is a system without sanction.(J.G. Starke, 1977:30).

Sanksi yang dikenakan apabila hukum perang dilaggar ditujukan kepada ketentuan tentang "penal sanctions" yag terdapat dalam Konvensi Jenewa tahun 1949.

Lauterpacht dalam membahas sarana yang dapat dipakai untuk menjamin berlangsungnya suatu "legitimasi welfare" membagi sarana tersebut dalam 3 kelompok (classes), yaitu :

a.       Measures of selfhelp, seperti reprisal, penghukuman prajurit yang melaksanakan kejahatan perang, penyanderaan;

b.       Protes ( complaints ) yang disampaikan kepada musuh, atau kepada Negara netral, jasa baik – baik, mediasi dari Negara netral;

c.       Kompensas (Lauterpacht, 1955:577-578)

Sekarang diuraikan lebih mendalam beberapa measures tersebut diatas, yaitu sebagai berikut :

1.      Protes ( Complaint )

Apabila terjadi pelanggaran yag cukup berat, pihak yag dirugikandapat mengajukan complaint melalui suatu Negara netral dengan maksud:

a.       Agar Negara netral tersebut dapat memberikan jasa – jasa baiknya atau dapat melakukan mediasi.

b.      Sekadar menyampaikan facts atau pelanggaran untuk diketahui

c.       Untuk mempegaruhi pendapat umum.

 
 

2.      Penyanderaan ( Hostages )

Penyandearaan merupakan suatu upaya unutk menjamin berlangsungnya suatu legitimasi warfare sering dilakukan padamasa yang lampau. Dalam perang Prancis Jerman tahun 1870.  Orang – orang terkemuka pada suatu wilayah yang diduduki ditangkap dan ditahan dengan masud agar penduduk wilayah tersebut tidak akan melakukan perbuatan – perbuatan yang bersifat permusuhan.

Dengan adanya Konvensi Jenewa 1949, semua bentuk peyanderaan dilarang. Artikel 3 (1) dari Konvensi I berbunyi sebagai berikut:

Untuk maksud ini, maka tindakan – tindaka berikut dilarang dan tetep aka dilarang untuk dilakukan tehadap orang – orang tersebut diatas pada waktu dan tempat apaapun juga (a) tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengudungan (multilation), perlakuan kejam dan penganiayaan; (b) penyanderaan da seterusnya.

 
 

3.      Pembayaran Kompensasi

Ketetuan mengenai Konpensasi ini dapat ditemukan dalam Hague Convention IV tahun 1907, artikel 3, yang berbunyi sebagai berikut.

Artikel 3 ini mencangkup dua macam ketentuan yaitu:

a.       Bahwa pihak berperang yang melagar Hague regulation harus membayar konpensasi;

b.      Bahwa pihak berperang bertaggaung jawab aamua perbuatan yang dilakuka oleh anggota –angota angkatan bersenjatanya.

 
 

4.      Reprisal

Reprisal merupakan tindakan yang melanggar hukum dan tindakan tersebut dilakukan dengan maksud agar pihak – pihak yang melanggar hukum perag meghentikan perbuatannya dan juga untuk memaksa ia agar dikemudian hari menaati hukum tersebut.


 

KESIMPULAN

distinction principle merupakan suatu prinsip dalam Hukum Humaniter yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang terlibat dalam konflik bersenjata, yakni kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civilian).

Tujuan Distinnction Principle dalam Hukum Internasional adalah untuk melindungi semua peserta perang yaitu Combatan ( angkatan perang ) dan penduduk sipil.

prinsip pembedaan telah dicantumkan di dalam berbagai instrumen Hukum Humaniter, baik di dalam Konvensi Den Haag 1907, dalam Konvensi Jenewa 1949, maupun dalam Protokol Tambahan I tahun 1977.

Akibat hukum adanya pelanggaran terhadap distinction principle

1.      Protes ( Complaint )

2.      Penyanderaan ( Hostages )

3.      Pembayaran Kompensasi

4.      Reprisal


 

DAFTAR PUSTAKA

Arlina Permanasari,dkk. 1999. Pengantar hukum humaniter. Jakarta : ICRC.

Haryomataram. 1984. Hukum humaniter. Jakarta : Rajawali press.

www.arlinapermanasari.blogspot.com

www.google.com

www.lovetya.blogspot.com


 

Tidak ada komentar: