Malam ini saya teringat dengan
pertanyaan kawan saya yang cukup sederhana namun menggelitik pikiran saya. Dia
bertanya : “Musa itu agamanya apa?” Entah bagaimana saya menjawab spontan : “Gak
tau, mungkin gak ada, belum ada agama gak sih pada zaman itu?” Ya, itu yang
saya pikirkan. Mungkin jika anda seorang muslim, bisa saja menjawab Musa
beragama Islam. Sedangkan yang kristiani, menjawab Musa beragama Kristen,
begitu juga dengan Katholik. Hal ini bisa saja terjadi mengingat baik Alkitab
dan Al-quran menyebut nama Musa dan cerita hidupnya.
Hal kedua yang menarik adalah
orang-orang yang katanya beragama (memilih salah satu agama yang diakui di
Indonesia untuk dicantumkan di Kartu Tanda Penduduknya), seringkali tergiring dengan
pandangan fanatik untuk memuja, membela atau menyatakan agama yang dianutnyalah
yang paling benar dan jika berhadapan dengan penganut dari agama lain seakan
mendeskriditkan orang yang bersebrangan keyakinan tersebut.
Mungkin terdengar aneh atau cetek,
tapi menurut saya, agama hanyalah alat, wadah, cara dimana dirimu memuja
Tuhanmu, sebagaimana Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefiniskannya agama
adalah “ajaran, sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.”
Agama sendiri dalam Bahasa Sansekerta gabungan dari suku kata A yang artinya tidak dan gama yang artinya kacau balau, sehingga
Agama berarti tidak kacau balau.
Ya, agama menurut
saya hanyalah alat, wadah, cara kita memuja Tuhan yang kita yakini yang mungkin
kita dapatkan dari keturunan (semenjak lahir) atau setelah kita lebih
mengenalNya lagi ketika dewasa. Ya, cuma kita masing-masing sendiri yang tau,
apakah agama hanya sebuah formalitas pilihan identitas di KTP atau memang kita
yakini sungguh-sungguh.
Mirisnya, entah
disadari atau tidak, di zaman sekarang ini (saya menulis pertengahan tahun
2020), banyak manusia sepandangan saya membuat agama hanya formalitas di KTP,
entah karena malas menjalankan tata cara ibadah menurut agamanya atau karena
keyakinannya tidak diakui sebagai salah satu agama di negaranya (contoh
Indonesia) dengan hanya pengakuan sebatas aliran kepercayaan atau bahkan
sebenarnya mengakui adanya Tuhan (bukan atheis/agnostik), namun tidak beragama.
Ini saya baru tahu dari kawan saya yang berasal dari Medan dan dikuatkan oleh
cerita mama saya di Jakarta, kalau pernah ada kejadian, penganut aliran
kepercayaan terpaksa memilih untuk menuliskan salah satu agama yang diakui di
Indonesia, meskipun mereka tidak menganutnya (hanya formalitas), bahkan
diejek-ejek karena meyakini hal yang berbeda (intoleransi) dan mendapat
diskriminasi pelayanan publik oleh negara. Sebenarnya ini salah satu yang
menggelitik pikiran saya semasa duduk di bangku sekolah, kenapa
di Indonesia hanya ada 6 agama yang diakui dan apa perbedaannya dengan aliran
kepercayaan. Mungkin teman-teman bisa membaca di artikel lain yang sudah banyak
membahas/menulis tentang hal ini.
Kemudian saya
berpikir kembali, sebenarnya agama itu apa sih buat orang-orang lain sampai sering
kali media memberitakan seakan-akan terjadi perang agama (agak berlebihan
mungkin). Penganut agama yang satu menghina penganut agama lain karena tidak
sejalan keyakinannya. Bahkan sesama penganut agama yang sama pun bisa saling
mengejek lantaran dinilai cara beragamanyalah yang paling benar, sedangkan
orang lain tidak. Sehingga seolah-olah perbedaan keyakinan tersebut menjadi
jurang pemisah toleransi sampai-sampai keluar kata-kata kotor, salah satu hewan
di kebun binatang atau kata-kata lain yang tidak sepantasnya keluar dari mulut
atau ketikan orang yang beragama.
Di sini saya bukan
berusaha judging (menghakimi), saya
hanya berpendapat dan kebebasan berpendapat itu dilindungi di Indonesia dalam Undang-Undang
Dasar (UUD 1945) bukan. Saya cuma sedang merasa muak dan akhirnya mengutarakan
lewat tulisan ini, karena seakan berapa tahun belakangan yang saya baru sadari
agama dipakai untuk menjatuhkan orang lain yang berbeda pandangan politik
(definisi politik dalam arti sempit).
Di Indonesia saya
rasa, pembicaraan topik mengenai agama masuk dalam ranah privasi, sensitive,
yang kalau bisa tidak usah dibahas di ranah publik atau dengan orang-orang
berbeda keyakinan. Beruntungnya saya dilahirkan di Indonesia, khususnya di
Jakarta dan sempat merantau ke Medan, saya sempat kenalan dengan orang-orang
yang berbeda keyakinan dengan saya (ikut serta mengikuti perayaan hari
besarnya), atau bahkan berbeda suku dan bisa dibilang saya hidup dalam
lingkungan majemuk, jadi toleransi antar umat beragama itu penting. Penting
untuk saling menghargai keyakinan agamanya masing-masing karena agama masuk
dalam ranah pilihan. Memilih untuk menganut salah satu agama atau tidak
beragama atau memilih hanya untuk pencantuman di dokumen negara.
Kalau ditanya mengapa
saya memilih agama saya yang sekarang saya anut dan yakinkah saya? Jawabannya saat
ini ya. Saya memilih agama yang saya anut sekarang ini karena sepemahaman saya
sejak kecil dan semakin hari semakin saya perdalami, agama yang saya anut
sekarang adalah agama (tata cara, pedoman, komunitas) yang membawa saya lebih
dekat dengan Tuhan (mengenalkan saya cara menuju surga) menurut yang saya
percayai. Meski bukan sekali dua kali saya diajak untuk pindah agama oleh teman
saya sangkin suka ikut-ikutan perayaannya atau karena mereka kaget menganggap saya
ternyata paham sedikit-sedikit tentang agama yang mereka anut. Saya balas
senyum aja deh. Kalau kamu, pilih yang mana? Aku atau dia? hahaha