Minggu, 11 September 2011
storm n' dark
motivator is my self
Kamis, 23 Juni 2011
outline tugas humaniter
Intisari Konvensi Jenewa II 1949
untuk Perbaikan keadaan Anggota
Angkatan Bersenjata di Laut yang Luka, Sakit dan Korban Kapal Karam.
Kelompok II
Esra Stephani (090200140)
Agnes Adriani Halim (090200139)
Fiqih Hazriah (090200141)
Yessica Tan (090200142)
Netty Karolin Hutabarat (090200146)
Sherly Novitasari S. (090200153)
Cindy (090200377)
Joice Simatupang (090200404)
Tony (100200173)
Intisari Konvensi
Para pihak peserta agung berkewajiban untuk menghormati dan menjamin penghormatan atas konvensi ini dalam segala keadaan.(pasal 1)
Pihak peserta agung adalah pihak- pihak yang terlibat dalam konvensi ini.
Menjaga kehormatan konvensi yang dimaksud yaitu mengikuti tata cara berperang yang diatur dalam konvensi ini seperti memberikan peringatan sebelum perang dimulai.
Konvensi ini berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap sengketa bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara dua atau lebih pihak-pihak peserta agung, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu antara mereka.(pasal 2)
Setiap pihak peserta agung memiliki kewajiban(pasal 3):
1. perlindungan terhadap korban
Orang-orang yang tidak turut serta aktif dalam sengketa termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta.
2. Yang luka, sakit dan korban karam dikumpulkan dan dirawat.
Tindakan-tindakan yang dilarang antara lain:
1.Tindakan kekerasan atas jiwa raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam dan penganiayaan
2.Penyanderaan
3.Pemerkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat
4.Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara terartur untuk memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa yang beradab.
Ketentuan konvensi ini hanya berlaku bagi angkatan perang yang berada di kapal saja.(pasal 4)
Negara netral melaksanakan konvensi ini secara analogi.(pasal 5)
Para Peserta Agung dapat mengadakan persetujuan khusus untuk semua hal yang mungkin mereka anggap sesuai untuk mengadakan ketentuan tersendiri, namun tidak ada persetujuan khusus boleh merugikan keadaan orang-orang luka.(pasal 6)
Pihak-pihak Peserta Agung dapat bermufakat untuk mempercayakan kepada suatu organisasi untuk memberi segala jaminan tentang kewajiban-kewajiban yang dibebankan Konvensi ini kepada Negara pelindung.(pasal 10)
Yang luka, sakit, dan korban karam harus dihormati dan dilindungi dalam segala keadaan dan harus diperlakukan dengan kemanusiaan dan dirawat oleh pihak dalam sengketa tanpa membedakan SAR.(pasal 12)
Wanita harus diperlakukan dengan segala kehormatan yang patut, diberikan mengingat jenis kelamin mereka.
Konvensi ini akan berlaku terhadap orang yang luka, sakit dan korban karam di laut.
Pengecualian terhadap mereka yang luka, sakit, dan korban karam, yang telah jatuh ke tangan musuh, mereka menjadi tawanan perang, sehingga pihak penahan bebas menentukan apa yang akan dilakukan terhadap mereka sesuai dengan keadaan yang diinginkan oleh si penahan. (pasal 16)
Sesudah berakhirnya setiap pertempuran, pihak-pihak dalam sengketa langsung mencari korban perang yang luka dan sakit, lalu mengumpulkannya, sehingga si korban dapat terlindungi dan bebas dari perampokan serta perlakuan buruk dari orang lain. (pasal 18)
Kapal kesehatan militer, yaitu kapal-kapal yang dibuat atau diperlengkapi oleh negara-negara khusus terutama dengan maksud untuk membantu yang luka, sakit, dan korban karam, untuk mengobati mereka dan untuk mengangkut mereka dalam keadaan apapun tidak boleh diserang atau ditangkap, tetapi setiap saat harus dihormati dan dilindungi. (pasal 22)
Kapal kesehatan yang dipergunakan oleh Perhimpunan Palang Merah Nasional, harus mendapat perlindungan yang sama seperti perlindungan yang diberikan kepada kapal kesehatan militer dan harus dikecualikan dari penangkapan. (pasal 25)
Kapal perang yang digunakan untuk kesehatan memilki perlindungan dalam perang. Namun perlindungan tersebut dapat hilang. (Pasal 34)
Para personel dinas keagamaan dan rumah sakit dari kapal kesehatan serta ABK kesehatan diberikan hak perlindungan oleh konvensi ini. Sehingga mereka tidak boleh diserang, apalagi ditawan. (pasal 36)
Dengan adanya negara netral, pesawat terbang kesehatan yang membawa pihak-pihak sengketa yang sedang terluka, sakit tidak boleh diserang. (pasal 40)
Setiap orang luka, sakit, dan korban karam itu semua tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan balasan. (pasal 47)
Pelanggaran berat adalah pelanggaran-pelanggaran yang meliputi perbuatan-perbuatan apabila dilakukan terhadap orang atau harta benda yang dilindungi oleh konvensi. (pasal 51)
Dalam segala keadaan, orang yang dituduh harus mendapat jaminan peradilan dan pembelaan yang wajar(sesuai pasal 105 dan Konvensi Jenewa mengenai perlakuan tawanan perang).
Pelanggaran berat :
Pembunuhan disengaja
Penganiayaan/perlakuan tidak berperikemanusiaan
Menyebabkan penderitaan besar/luka berat
Pembinasaan yang meluas
Tindakan pemilikan harta benda yang tidak dibenarkan militer dan dengan melawan hukum
Konvensi ini menggantikan Konvensi Den Haag ke-X, 18 Oktober 1907, untuk menyesuaikan azas-azas Konvensi Jenewa dari 1906 dengan Peperangan di Laut dalam hubungan antara pihak-pihak Peserta Agung.(pasal 58)
Mulai tanggal berlakunya, Konvensi ini akan terbuka untuk pernyataan aksesi(secara tertulis) bagi setiap negara yang belum menandatanganinya.(pasal 59)
Tiap pihak peserta agung bebas untuk menyatakan tidak terikat lagi oleh konvensi ini yang harus diberitahukan kepada Dewan Federal Swiss.(pasal 62)
Konvensi ini dibuat di Jenewa hari kedua belas Agustus 1949, dalam bahasa Inggris dan Perancis.(pasal 63)
Prinsip Pembedaan
LATAR BELAKANG
Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia.
Jean-Jacques Rousseau memberikan inpirasi bagi perkembangan prinsip-prinsip perang. Dia bilang bahwa tujuan perang untuk menghancurkan negara musuh adalah sah secara hukum apabila membunuh prajurit yang menjadi pertahanan terakhir musuh sejauh mereka membawa senjata, tetapi segera setelah mereka meletakkan senjata dan menyerah, mereka bukan lagi musuh atau agen musuh, kini mereka kembali menjadi orang biasa, dan tidak lagi sah secara hukum untuk mengambil hidup mereka.
Para perancang Deklarasi St. Petersburg memformulasikan prinsip-prinsip pembedaan, prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu dan prinsip kepentingan kemanusiaan dan keperluan militer. Bahwa satu-satunya objek yang paling sah dicapai oleh suatu Negara selama perang adalah melemahkan angkatan bersenjata dari pihak lawan.
Pada Abad ke 18 Jean Jacques Rosseau dalam bukunya the social Contract mengajarka bahwa perang harus berlandaskan pada moral. Konsep ini kemudian menjadi landasan bagi Hukum Humaniter Internasional.
Landasan tersebut adalah Prinsip atau asas Pembedaan ('Distintion Prinsiple') merupakan suatu asas penting dalam Hukum Humaniter. Salah satu alasan perlunya pembedaan demikian adalah untuk mengetahui mereka yang boleh turut serta dalam permusuhan , sehingga boleh dijadikan sasaran atau objek kekerasan, dan mereka yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan sehingga tidak boleh dijadikan objek kekerasan. Penduduk sipil yan tidak turut serta dalam permusuhan tersebut , harus dilindungi dari tindakan peperangan itu. Menurut Jean Pictet, prinsip pembedaan ini berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ratione personae.
Makalah ini akan membahas secara umum mengenai Distinction Principle ini. Diketahui bahwa pada saat terjadi peperangan maka disana juga masih terdapat hukum – hokum yang seharusnya diberlakukan hukum tersebut adalah hokum perang. Hukum perang merupakan bagian dari hukum Internasional. Sampai dengan sekarang, dengan disetujuinya protocol – protocol tambahan 1977, hukum perang mencangkup kurang lebih enam ratus artikel.
RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah diatas, maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, antara lain sebagai berikut:
- Apakah yang dimaksud dengan Distinction Principle?
- Apa tujuan adanya Distinction Principle dalam hukum humaniter Internasional ?
- Apa dasar hukum prinsip pembedaan dalam Hukum Humaniter ?
- Apa akibat hukumnya apabila Distinction Principle tersebut dilanggar oleh para pihak yang berperang ?
A. Pengertian Distinction Principle
Prinsip Pembedaan (distinction principle) merupakan suatu prinsip dalam Hukum Humaniter yang membedakan atau membagi penduduk(warga negara) dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata(armed conflict), ke dalam dua golongan besar, yakni kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam pertempuran(hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak berhak untuk turut serta dalam suatu pertempuran.
Di samping pembedaan secara subyek (yakni membedakan penduduk menjadi golongan kombatan dan penduduk sipil), maka prinsip pembedaan ini membedakan pula objek-objek yang berada di suatu negara yang bersengketa menjadi dua kategori pula, yaitu objek-objek sipil (civilian objects) dan sasaran-sasaran militer (military objectives). Objek sipil adalah semua objek yang bukan objek militer, dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan sasaran serangan pihak yang bersengketa. Sebaliknya, jika suatu objek termasuk dalam kategori sasaran militer, maka objek tersebut dapat dihancurkan berdasarkan ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter.
Suatu objek yang dianggap sebagai sasaran militer bukan hanya meliputi objek-objek militer saja seperti tank, barak-barak militer, pesawat mliter atau kapal perang sebagaimana terlihat pada gambar di samping, akan tetapi yang termasuk sasaran militer adalah semua objek dapat dikategorikan sebagai sasaran militer berdasarkan ketentuan Hukum Humaniter.
B. TUJUAN ADANYA DISTINCTION PRINCIPLE
Menurut Mochtar Kusumahadmadja, fungsi diadakannya Distinction Principle adalah :
1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu.
2. Menjamin Hak Asasi Manusia Yang sangat fundamental bagi Mereka yang jatuh ke tangan musuh
3. Mencegah dilakukanya perang Kejam tanpa mengenal batas disini yang terpenting adalah Asas prikemanusiaan
Tujuan Distinnction Principle dalam Hukum humaniter Internasional adalah untuk melindungi semua peserta perang yaitu Combatan ( angkatan perang ) dan penduduk sipil. Hukum tersebut membatasi atas dasar kemanusiaan hak – hak pihak yang terlibat pertikaian untuk menggunaan beberapa senjata dan metode berperang tertentu, serrta member perlindungan kepada korban maupun harta beda yang terkena akibat pertikaian bersenjata
Menurut Jean Pictet, prinsip pembedaan ini berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ratione personae. Yang menyatakan, 'the civilian population and individual civilians shall enjoy general protection against danger arising from military operation'. Asas umum ini memerlukan penjabaran lebih jauhke dalam sejulah asas pelaksanaan (principles of application), yakni:
a. Pihak – pihak yang bersengketa, setiap saat, harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objek – objek sipil.
b. Penduduk sipil, demikia pula orang sipil secara perorangan, tidak bolah dijadia objek serangan (walaupun) dalam hal reprisals ( pembalasan ).
c. Tindakan maupun ancaman kekerasan yang tujua utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil adalah dilarang.
d. Pihak – pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahanyang memungkinkan untuk menyelamatka penduduk sipil atau setidak – tidaknya , untuk menekan kerugian atau kerusakan yag tak disengaja menjadi sekecil mungkin.
e. Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.
Jadi, secara normatif prinsip ini dapat mengeliminasi kemungkinan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil. Dengan demikian berarti memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap Hukum Humaniter, khususnya ketentuan mengenai kejahatan perang, yang dilakukan oleh kombatan dengan sengaja.
C. dasar hukum prinsip pembedaan dalam Hukum Humaniter ?
Sebagai prinsip pokok, prinsip pembedaan telah dicantumkan di dalam berbagai instrumen Hukum Humaniter, baik di dalam Konvensi Den Haag 1907, dalam Konvensi Jenewa 1949, maupun dalam Protokol Tambahan I tahun 1977.
a) Konvensi Den Haag 1907
Istilah prinsip pembedaan secara implisit terdapat di dalam Konvensi Den Haag IV (Konvensi mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat), khususnya dalam lampiran atau annex-nya yaitu Regulations respecting Laws and Customs of War, lebih dikenal dengan sebutan Hague Regulations (Regulasi Den Haag). Bagi kalangan angkatan bersenjata, ketentuan yang terdapat dalam Regulasi Den Haag dianggap sangat penting, sehingga sering disebut sebagai the soldier's vadamecum.
Pasal 1 Regulasi Den Haag 1907 menentukan bahwa : hukum, hak, dan kewajiban perang bukan hanya berlaku bagi tentara saja (army), melainkan juga bagi milisi dan korps sukarela, sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam angka 1 sampai dengan 4 dari Pasal 1 Regulasi Den Haag. Bahkan, dalam alinea selanjutnya dari pasal itu, juga ditegaskan bahwa di negara-negara di mana milisi dan korps sukarelawan merupakan tentara atau merupakan bagian dari tentara, maka milisi dan korps sukarela itu juga dapat disebut juga sebagai tentara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 itu.
Berdasarkan Pasal 2 Regulasi Den Haag, maka ternyata ada pula segolongan penduduk sipil yang dapat dimasukkan ke dalam kategori belligerents, sepanjang memenuhi persyaratan yaitu :
1. Mereka merupakan penduduk dari wilayah yang belum diduduki;
2. Mereka secara spontan mengangkat senjata atau melakukan perlawanan terhadap musuh yang akan memasuki tempat tinggal mereka; dan oleh karena itu
3. Mereka tidak memiliki waktu untuk mengatur (mengorganisir) diri sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1;
4. Mereka menghormati (mentaati) hukum dan kebiasaan perang; serta
5. Mereka membawa senjata secara terang-terangan.
Sehingga, golongan penduduk sipil dalam koridor Pasal 2 Regulasi Den Haag itulah yang dikenal dengan istilah "levee en masse".
Dengan memperhatikan uraian di atas maka dapatlah diketahui bahwa berdasarkan Regulasi Den Haag, maka hak untuk ikut serta dalam pertempuran, tidak melulu hanya bisa dilakukan oleh tentara saja, namun penduduk sipil juga punya hak untuk bertempur, asalkan saja memenuhi ketentuan Regulasi Den Haag di atas. Dengan kata lain golongan-golongan penduduk yang dapat turut serta secara aktif dalam pertempuran menurut Regulasi Den Haag 1907, yaitu :
1. Armies (Tentara);
2. Militia dan Volunteer Corps (Milisi dan Korp Sukarela) dengan memenuhi persyaratan tertentu;
3. Penduduk sipil dalam kategori sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Regulasi Den Haag; yang disebut "levee en masse".
Aturan-aturan Hukum Humaniter mengenai hal ini kemudian diperbarui di dalam ketentuan Hukum Humaniter berikutnya, yakni di dalam Konvensi Jenewa 1949 dan dalam Protokol Tambahan I tahun 1977.
b. Konvensi Jenewa 1949
Ketentuan mengenai prinsip pembedaan juga diatur dalam Konvensi Jenewa 1949, yakni dalam Konvensi Jenewa I, II dan III. Hanya saja, sedikit berbeda dengan aturan dalam Regulasi Den Haag yang menetapkan persyaratan sebagai belligerent, maka dalam Konvensi Jenewa yang ditentukan adalah "siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan perlindungan" dan "siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan perlakuan sebagai tawanan perang apabila tertangkap pihak musuh".
II. AKIBAT HUKUM ADANYA PELANGGARAN TERHADAP DISTINCTION PRINCIPLE
Hukum Perang adalah salah satu bagian dari hukum Internasional. Diketahui pula bahwa salah satu kelemahan yag cukup mencolok dari hukum Internasioal adalah bahwa seoah – olah tidak ada sanksi . Seorang ahli menyataka International Law is a system without sanction.(J.G. Starke, 1977:30).
Sanksi yang dikenakan apabila hukum perang dilaggar ditujukan kepada ketentuan tentang "penal sanctions" yag terdapat dalam Konvensi Jenewa tahun 1949.
Lauterpacht dalam membahas sarana yang dapat dipakai untuk menjamin berlangsungnya suatu "legitimasi welfare" membagi sarana tersebut dalam 3 kelompok (classes), yaitu :
a. Measures of selfhelp, seperti reprisal, penghukuman prajurit yang melaksanakan kejahatan perang, penyanderaan;
b. Protes ( complaints ) yang disampaikan kepada musuh, atau kepada Negara netral, jasa baik – baik, mediasi dari Negara netral;
c. Kompensas (Lauterpacht, 1955:577-578)
Sekarang diuraikan lebih mendalam beberapa measures tersebut diatas, yaitu sebagai berikut :
1. Protes ( Complaint )
Apabila terjadi pelanggaran yag cukup berat, pihak yag dirugikandapat mengajukan complaint melalui suatu Negara netral dengan maksud:
a. Agar Negara netral tersebut dapat memberikan jasa – jasa baiknya atau dapat melakukan mediasi.
b. Sekadar menyampaikan facts atau pelanggaran untuk diketahui
c. Untuk mempegaruhi pendapat umum.
2. Penyanderaan ( Hostages )
Penyandearaan merupakan suatu upaya unutk menjamin berlangsungnya suatu legitimasi warfare sering dilakukan padamasa yang lampau. Dalam perang Prancis Jerman tahun 1870. Orang – orang terkemuka pada suatu wilayah yang diduduki ditangkap dan ditahan dengan masud agar penduduk wilayah tersebut tidak akan melakukan perbuatan – perbuatan yang bersifat permusuhan.
Dengan adanya Konvensi Jenewa 1949, semua bentuk peyanderaan dilarang. Artikel 3 (1) dari Konvensi I berbunyi sebagai berikut:
Untuk maksud ini, maka tindakan – tindaka berikut dilarang dan tetep aka dilarang untuk dilakukan tehadap orang – orang tersebut diatas pada waktu dan tempat apaapun juga (a) tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengudungan (multilation), perlakuan kejam dan penganiayaan; (b) penyanderaan da seterusnya.
3. Pembayaran Kompensasi
Ketetuan mengenai Konpensasi ini dapat ditemukan dalam Hague Convention IV tahun 1907, artikel 3, yang berbunyi sebagai berikut.
Artikel 3 ini mencangkup dua macam ketentuan yaitu:
a. Bahwa pihak berperang yang melagar Hague regulation harus membayar konpensasi;
b. Bahwa pihak berperang bertaggaung jawab aamua perbuatan yang dilakuka oleh anggota –angota angkatan bersenjatanya.
4. Reprisal
Reprisal merupakan tindakan yang melanggar hukum dan tindakan tersebut dilakukan dengan maksud agar pihak – pihak yang melanggar hukum perag meghentikan perbuatannya dan juga untuk memaksa ia agar dikemudian hari menaati hukum tersebut.
KESIMPULAN
distinction principle merupakan suatu prinsip dalam Hukum Humaniter yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang terlibat dalam konflik bersenjata, yakni kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civilian).
Tujuan Distinnction Principle dalam Hukum Internasional adalah untuk melindungi semua peserta perang yaitu Combatan ( angkatan perang ) dan penduduk sipil.
prinsip pembedaan telah dicantumkan di dalam berbagai instrumen Hukum Humaniter, baik di dalam Konvensi Den Haag 1907, dalam Konvensi Jenewa 1949, maupun dalam Protokol Tambahan I tahun 1977.
Akibat hukum adanya pelanggaran terhadap distinction principle
1. Protes ( Complaint )
2. Penyanderaan ( Hostages )
3. Pembayaran Kompensasi
4. Reprisal
DAFTAR PUSTAKA
Arlina Permanasari,dkk. 1999. Pengantar hukum humaniter. Jakarta : ICRC.
Haryomataram. 1984. Hukum humaniter. Jakarta : Rajawali press.
www.arlinapermanasari.blogspot.com
Gender dalam Hukum Adat
- Apakah ada isu gender dalam hukum adat ? Jelaskan!
- Bagaimana isu gender di dalam perundang-undangan?
- Isu Jender Dalam hukum Adat (Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan Dan Hukum Waris)
Hukum adat sebagai hukumnya rakyat Indonesia dan tersebar di seluruh Indonesian dengan corak dan sifat yang beraneka ragam. Hukum adat sebagai hukumnya rakyat Indonesia terdiri dari kaidah-kaidah hukum yang sebagian besar tidak tertulis yang dibuat dan ditaati oleh masyarakat dimana hukum adat itu berlaku.
Hukum adat terdiri dari berbagai lapangan hukum adat antara lain hukum adat pidana, tata negara, kekeluargaan, perdata, perkawinan dan waris. Dalam tulisan ini yang akan dibahas dalam kaitan isu gender adalah hukum kekeluargaan, perkawinan dan waris.
Antara hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat karena ketiga lapangan hukum tersebut merupakan bagian dari hukum adat pada umumnya dan antara yang satu dengan yang lainnya saling bertautan dan bahkan saling menentukan.
- Sistem kekerabatan patrilinial
- Sistem kekerabatan matrilinial
- Sistem kekerabatan parentalSistem kekerabatan parental yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki(ayah) dan perempuan(ibu), sistem ini dianut Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya.
Walaupun di Indonesia terdapat tiga sistem kekerabatan atau kekeluargaan yaitu sistem kekerabatan matrilinial, patrilinial dan parental namun kekuasaan tetap berada di tangan laki-laki hal ini sebagai akibat dari pengaruh idiologi patriarki.
Sistem kekerabatan matrilinial yang dianut pada masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat, merupakan sistem kekerabatan yang tertua. Sistem kekerabatan ini menempatkan status kaum perempuan yang tinggi dan disertai dengan sistem perkawinan semendonya, dan sebagai penerus keturunan serta dalam hukum waris juga sebagai ahli waris.
Pada masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat di mana pada sistem kekeluargaan ini garis keturunan ditarik dari garis perempuan(ibu) akan tetapi kekuasaan bukan berada di tangan perempuan namun tetap berada di tangan laki-laki, hal ini dapat dilihat bahwa yang menjadi mamak kepala waris adalah dijabat oleh laki-laki yakni laki-laki tertua. Oleh karenanya, dalam sistem kekerabatan matrilinial kekuasaan tetap berada di tangan laki-laki maka jelas terdapat isu gender di dalamnya.
Dalam sistem kekerabatan patrilinial yang dianut oleh masyarakat Tapanuli, Lampung, Bali dan lain-lainnya sangat jelas menempatkan kaum laki-laki pada kedudukan yang lebih tinggi. Laki-laki berkedudukan sebagai ahli waris, sebagai pelanjut nama keluarga, sebagai penerus keturunan, sebagai anggota masyarakat adat dan juga mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan keluarga maupun masyarakat luas.
Dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan partilinial kaum perempuan justru sebaliknya yaitu mempunyai kedudukan yang sangat rendah, tidak sebagai ahli waris, tidak sebagai pelanjut keturunan, tidak sebagai penerus nama kelaurga karena dalam perkawinan jujur (pada umumnya) perempuan mengikuti suami dan juga tidak menjadi anggota masyarakat adat.
Pada masyarakat patrilinial di Bali dikenal lembaga "sentana rajeg" di mana anak perempuan dirubah statusnya melalui perkawinan nyeburin (nyentana) sehingga menjadi sama statusnya dengan status anak laki-laki. Perlu diketahui bahwa tidak setiap anak perempuan dapat dirubah statusnya karena ada persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Contoh dalam sebuah keluarga tidak dikaruniai anak laki-laki.
Dan yang lebih vatal adalah apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki dapat dipakai alasan bagi suami untuk melakukan poligami. Dalam kaitan dengan hal itu hukum adat memang membolehkan adanya poligami sedang jumlah wanita yang boleh dikawin tidak terbatas , sehingga untuk menghindari adanya poligami maka ditempuh upaya merubah kedudukan anak perempuan melalui perkawinan nyeburin.
Anak perempuan yang dirubah statusnya dengan perkawinan nyeburin, status dan kedudukannya sama dengan anak laki-laki tetapi terbatas hanya dalam kaitan dengan harta kekayaan orang tuannya saja sedangkan dalam hal yang lainnya yakni sebagai kepala keluarga, anggota masyarakat adat (ayah laki) tetap dilakukan oleh laki-laki yang kawin nyeburin dan perempuan yang keceburin melakukan kewajibannya sebagai perempuan pada umumnya.
Anak perempuan yang berkedudukan sebagai sentana rajeg sudah tentu berbeda dengan kedudukan anak perempuan pada umumnya, oleh karena demikian justru dengan adanya lembaga sentana rajeg ini malahan memperlihatkan adanya diskriminasi terhadap anak perempuan.
Disamping itu, dengan adanya proses perkawinan nyeburin untuk memberikan status yang sama terhadap anak perempuan dengan status anak laki-laki malah justru memperkuat dan mengajegkan sistem kekerabatan patrilinial yang menempatkan laki-laki pada posisi dan kedudukan yang sangat tinggi dan pada akhirnya tetap terjadi diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam masyarakat Bali yang mengenal lembaga sentana rajeg, perlu dipertanyakan apakah kekuasaan sepenuhnya berada di tangan anak perempuan yang berkedudukan sebagai sentana rajeg? kenyataannya belum tentu bahwa kekuasaan sepenuhnya berada di tangan anak perempuan tersebut. Hal ini seperti telah diuraikan diatas di mana dalam sebuah keluarga yang mempunyai anak perempuan yang berstatus sentana rajeg, di mana yang mewakili keluarga sebagai anggota banjar, anggota desa adat, rapat-rapat keluarga, adalah tetap laki-laki yang kawin dengan anak perempuan yang berstatus sentana rajeg tersebut bukan perempuan yang berstatus sentana rajeg.
Karena laki-laki yang mewakili sebagai anggota keluarga dalam segala urusan keluarga maka laki-lakilah yang ikut dalam segala pengambilan keputusan, maka laki-lakilah kembali yang memegang peranan atau tetaplah kekuasaan berada di tangan laki-laki. Jadi tetap terjadi sub-ordinasi terhadap perempuan dan terdapat isu gender di dalamnya.
Dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan parental seperti yang dianut oleh masyarakat Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya pada prinsipnya menempatkan kedudukan antara anak laki-laki dan perempuan adalah sama dalam hal mewaris. Semua anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kedudukan yang sama yaitu sama-sama sebagai ahli waris.
Apabila diperhatikan lebih jauh dalam pembagian harta warisan justru terdapat sub-ordinasi dan dikriminasi terhadap anak perempuan. Hal ini dapat dilihat dari besarnya bagian yang diterima oleh anak laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 yang dalam istilah adat dikenal dengan isilah "sepikul segendong". Kalau dilihat dalam hal pengambilan keputusan dalam keluarga dan masyarakat tetap berada di tangan laki-laki oleh karena demikian idiologi patriarki tetap nampak pada masyarakat yang parental. Oleh karena demikian dalam masyarakat yang parental tetap terdapat bias gender.
Contoh masyarakat dalam kekerabatan:
- Batak
Kelompok kekerabatan orang Batak memperhitungkan hubungan keturunan secara patrilineal, dengan dasar satu ayah, satu kakek, satu nenek moyang . perhitungan hubungan berdasarkan satu ayah disbut sada bapa (bahasa karo), atau saama (bahasa toba).
Kelompok kekerabatan terkecil adalah keluarga batih (inti), terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Orang Batak mengenal klen kecil dan klen besar. Klen kecil adalah kelompok kekerabatan patrilineal sada nini atau saampu. Klen besar adalah kelompok kekerabatan patrilineal satu nenek moyang sampai generasi ke-20.
Perkawinan pada orang Batak merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Perkawinan juga mengikat kaum kerabat si laki-laki dengan kaum kerabat si perempuan. Menurut adat lama, pada orang Batak, seorang laki-laki tidak bebas dalam memilih jodoh. Perkawinan antara orang-orang rimpal, yakni perkawinan dengan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya (cross cousin) dianggap perkawinan ideal. Pada zaman sekarang sudah banyak pemuda yang tidak lagi mengikuti adat lama ini. Perkawinan yang dilarang adalah perkawinan satu marga dan perkawinan dengan anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya.
- Jawa
Sistem kekerabatan orang Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral (garis keturunan diperhitungkan dari dua belah pihak, ayah dan ibu). Dengan prinsip bilateral atau parental ini maka ego mengenal hubungan dengannya dengan sanak saudara dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, dari satu ennek moyang sampai generasi ketiga, yang disebut sanak sedulur (kindred). Khsus di daerah Yogyakarta bentuk kerabat disebut alur waris yang terdiri dari enam sampai tujuh generasi.
- Minang
Diantara seluruh suku di Nusantara ini, barangkali hanya Suku Minang yang menempati mayoritas di Sumatera Barat-lah yang menggunakan budaya matriarkal, bukannya budaya patriarkal. Budaya matriarkal ini menyentuh sendi kehidupan suku Minang, di mana garis keturunan mereka ditentukan oleh garis keturunan ibu, yang dikenal dengan budaya Bundo Kanduang. Namun demikian, budaya matriarkal ini tidak menyentuh pada
- Isu Jender Dalam Perundang-Undangan
Perjuangan emansipasi perempuan Indonesia yang sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka yang dipelopori oleh R.A. Kartini, dan perjuangannya kemudian mendapat pengakuan setelah Indoesia merdeka. Pengakuan itu tersirat dalam Pasal 27 UUD 1945 akan tetapi realisasi pengakuan itu belum sepenuhnya terlaksana dalam berbagai bidang kehidupan.
Hal ini jelas dapat diketahui dari produk peraturan perundangan-undangan yang masih mengandung isu gender di dalamnya, dan oleh karenannya masih terdapat diskriminasi terhadap perempuan. Contoh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di mana seolah-olah undang-undang tersebut melindungi perempuan dengan mencantumkan asas monogami di satu sisi akan tetapi di sisi lain membolehkan bagi suami untuk berpoligami tanpa batas jumlah wanita yang boleh dikawin.
Dalam membahas masalah diskriminasi terhadap perempuan maka yang dipakai sebagai dasar acuan adalah Ketentuan Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1984, yang berbunyi sebagai berikut : Untuk tujuan konvensi yang sekarang ini, istilah "diskriminasi terhadap wanita" berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.
Mencermati ketentuan Pasal 1 tersebut diatas maka istilah diskriminasi terhadap perempuan atau wanita adalah setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan atas dasar jenis kelamin maka terdapat peraturan perundang-undangan yang bias jender seperti Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Perkawinan, dan lain-lainnya.Salah satu produk peraturan perundang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang ini sudah berlaku kurang lebih 30 tahun dan banyak mengandung kelemahan karena bersifat diskriminatif dan bias gender terhadap perempuan.
Undang-Undang ini terdiri dari 67 pasal, dari 67 pasal ada beberapa pasal yang secara nyata bias gender dan bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Adapun pasal-pasal dimaksud antara lain :- Pasal 3 (2), Pasal 4, Pasal 5, tentang ketentuan poligami.
- Pasal 7 (1) mengenai ketentuan umur 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.
- Pasal 11 mengenai ketentuan waktu tunggu bagi wanita yaitu janda mati 120 hari dan janda cerai 90 hari.
- Pasal 31 (3) mengenai ketenuan suami kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga.
- Pasal 34 (1,2) mengenai ketentuan yang memposisikan istri sangat lemah dan sub-ordinasi.
- Pasal 41 (b.c) mengenai ketentuan istri/wanita diposisikan lemah dan sub-ordinasi.
- Pasal 44 (1) mengenai ketentuan penyangkalan anak.
- KesimpulanBerdasarkan paparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa mencerminkan bias gender dalam hubungannya terutama terkait dengan sistem kekerabatan dan perkawinan serta pewarisan yang masih berlaku dewasa ini. Ketiga hal tersebut menunjukan adanya perbedaan di satu tempat dengan di tempat lainnya, tergantung dari sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.
Disamping adanya perbedaan, terdapat pula adanya persamaan terutama yang menyangkut kekuasaan dalam pengambilan keputusan, ini nampak sama yaitu tetap berada di tangan laki-laki. Hal itu dikarenakan adanya pengaruh budaya partiarki yang bersifat universal yang bersifat turun temurun.
Secara umum kedudukan perempuann dalam hukum adat masih mencerminkan sub-ordinasi dan bias gender terhadap perempuan. Peraturan perundang-undangan sebagai hukum negara juga mencerminkan ketidak adilan hukum dan ketidak adilan gender seperti Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Perpajakan.
Keadaan yang sub-ordinasi terhadap perempuan dapat berubah seiring dengan kemajuan jaman dan majunya tingkat pendidikan suatu masyarakat. disamping perubahan itu dapat juga terjadi melalui proses kesadaran masyarakat yang berorientasi pada kesetaraan dan keadilan jender, melalui pendidikan, peraturan perundang-undangan yang adil hukum dan gender. Sehingga kesetaraan dan keadilan hukum dan keadilan gender dapat terwujud.