Kamis, 23 Juni 2011

Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana

BAB I

PENDAHULUAN


 

Latar Belakang

Negara sebagai organisasi sosial yang terkuat dan tertinggi, maka hanya negara saja yang memegang hak penegakan hukum pidana, in casu ialah hak untuk menuntut pidana terhadap barangsiapa yang telah diduga melanggar aturan pidana yang telah dibentuk oleh badan pembentuk Undang – undang, demikian pula hanya negara saja yang memegang hak untuk menjalankan pidana terhadap barangsiapa yang oleh negara dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana atas kesalahannya.

Tetapi hak untuk menutut dari suatu negara itu memiliki batasan. Suatu negara tidak memiliki hak untuk menuntut yang tidak terbatas (abadi), terdapat beberapa keadaan – keadaan yang berdasarkan atas KUHP atau ketentuan perundang – undangan yang membatasi ruang gerak dari hak Negara itu.

Di dalam titel ke tujuh dan ke delapan, Buku I KUHP disebut keadaan-keadaan yang berpengaruh terhadap hak penuntut umum untuk menuntut. Ketentuan-ketentuan tersebut teletak di perbatasan antara hukum pidana materil dan hukum acara pidana. Selain dalam KUHP, diluar KUHP juga terdapat peraturan mengenai alasan gugurnya negara dalam melakukan penuntutan.

Oleh karena itu, kita sebagai mahasiswa khususnya yang nantinya mungkin ada yang akan berkecimpung di dunia peradilan, perlu mengetahui secara jelas dan terperinci mengenai apa saja alasan – alasan (keadaan – keadaan) yang membuat hapusnya hak negara dalam melakukan penuntutan. Maka disini kami melalui makalah kami memaparkan permasalahan tersebut, guna memperkaya pengetahuan bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa fakultas hukum USU.


 


 

BAB II

PERUMUSAN MASALAH


 

Dari latar belakang masalah diatas, maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, antara lain sebagai berikut:

  1. Apa definisi dari Negara dan Penuntutan?
  2. Apa dasar dilakukannya peniadaan penuntutan?
  3. Apa saja keadaan yang menyebabkan hapusnya hak menuntut negara?


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB III

PENGERTIAN NEGARA DAN PENUNTUTAN


 

Pengertian Negara

Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada.


 

Pengertian Penuntutan

Dalam Undang-undang ditentukan bahwa hak penuntunan hanya ada pada penuntut umum yaitu Jaksa yang diberi wewenang oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana No. 8 tahun 1981.

"Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan."

Yang bertugas menuntut atau penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Kemudian muncul Undang-undang No. 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bahwa kekuatan untuk melaksanakan penuntutan itu dilakukan oleh Kejaksaan. Dalam Undang-undang Kejaksaan Republik Indonesia No. 5 tahun 1991 memberi wewenang kepada Kejaksaan, yaitu :

  1. Melakukan penuntutan dalam perkara pidana;
  2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan;
  3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan kepada tergugat;
  4. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum diajukan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya di koordinasikan dengan penyidik.

Mengenai kebijakan penuntutan, penuntut umumlah yang menentukan suatu perkara hasil penyidikan, apakah sudah lengkap ataukah tidak untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk diadili. Hal ini diatur dalam pasal 139 KUHAP. Jika menurut pertimbangan penuntut umum suatu perkara tidak cukup bukti-bukti untuk diteruskan ke Pengadilan ataukah perkara tersebut bukan merupakan suatu delik, maka penuntut umum membuat suatu ketetapan mengenai hal itu Pasal 140 ayat 2 butir a KUHAP.

Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib dibebaskan (Pasal 140 ayat 2 butir b). Mengenai wewenang penuntut umum untuk menutut perkara demi hukum seperti tersebut dalam pasal 140 ayat 2 butir a, pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa "perkara ditutup demi hukum" diartikan sesuai dengan buku I Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bab VIII buku I tentang hapusnya hak menuntut tersebut diatur dalam pasal 76; 77; 78 dan 82 KUHP.


 


 


 


 


 


 

BAB IV

DASAR PENIADAAN PENUNTUTAN


 

Ketentuan tentang dasar tidak dapat diterimanya penuntutan penuntut umum di dalam KUHP tidak ada kaitannya dengan jangka waktu yang bersifat hukum acara pidana. Ia hanya menyangkut dapat diterimanya bantahan terdakwa. Adalah ciri syarat-syarat penuntutan ialah bahwa ia tidak bersangkut paut dengan hal dapat dipidananya membuat delik atau terdakwa. Itulah sebabnya sehingga peradilan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan jikalau keadaan yang menghalangi penuntutan hilang.

Menurut Van Bemmelem bahwa keadaan-keadaan yang membuat penuntut umum tidak boleh melakukan penuntutan terhadap terdakwa disebut peniadaan penuntutan (Vernolgingsuitsluitingsgrounden), sedangkan keadaan yang membuat hakim tidak dapat mengadili seseorang sehingga tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa disebut dasar-dasar yang meniadakan pidana. Sering kali sukar dibedakan antara keduanya, karena pembuat Undangundang di dalam rumusannya tidak terlalu jelas.

Suatu rumusan Undang-undang kadang-kadang dapat diartikan sebagai ketentuan pidana yang tidak dapat diberlakukan dalam keadaan-keadaan yang telah disebutkan dalam rumusan tersebut, dalam arti bahwa penuntut umum tidak dapat melakukan penuntutan terhadap orang terdakwa berdasarkan bahwa terdakwa telah melanggar ketentuan pidana tertulis.

Padahal yang dimaksud ialah pembuat Undang-undang sebenarnya adalah untuk memberitahukan kepada hakim, bahwa ia tidak boleh menjatuhkan pidana. Sebagai contoh misalnya kalimat yang dipergunakan oleh pembentuk Undang-undang dalam merumuskan ketentuan pidana dalam pasal 163 bis ayat 2 KUHP berbunyi : ketentuan ini tidak dapat diberlakukan terhadapnya, jiakalau kejahatan atau pencobaan yang diancam pidana tidak terjadi, yang disebabkan oleh keadaan yang tergantung pada keamanannya.


 


 

Dalam pasal 163 bis ayat 2 KUHP tersebut, seharusnya pembentuk Undang-undang telah bermaksud menjelaskan, bahwa ketentuan pidana yang mengatur masalah mislukte uitlokking atau masalah menggunakan orang lain melakukan tindak pidana yang gagal, tidak dapat diberlakukan lagi secara prilaku, apabila prilaku tersebut dengan sukarela telah membatalkan untuk melakukan tindak pidana yang bersangkutan.

Menurut Van Bemmelem, dengan membuat rumusan seperti yang dapat dibuat dalam rumusan pasal 163 bis ayat 2 KUHP itu, sebenarnya pembentuk Undang-undang telah bermaksud untuk menciptakan suatu dasar yang meniadakan pidana dan bukan dasar peniadaan penuntutan. Dasar-dasar yang meniadakan penuntutan dapat dijumpai dalam KUHP antara lain :

  1. Buku I Bab V, yaitu dalam pasal 61 dan 62 KUHP yang menentukan bahwa penerbit dan pencetak itu tidak dapat dituntut apabila pada benda-benda yang dicetak dan diterbitkan itu telah mereka cantumkan nama-nama serta alamat orang yang telah menyuruh mencetak benda-benda tersebut, atau pada kesempatan pertama setelah ditegur kemudian telah memberi julukan nama dan alamat orang tersebut.
  2. Buku I Bab VII yaitu dalam pasal 72 KUHP dan selanjutnya, yang menambah bahwa tidak dapat dilakukan suatu penuntutan apabila tidak ada pengaduan.
  3. Buku I Bab VIII yaitu dalam pasal 76; 77; 78 dan pasal 82 KUHP yang mengatur tentang hapusnya hak untuk melakukan penuntutan.

Disamping dasar-dasar yang meniadakan penuntutan seperti dimaksudkan diatas, masih dapat dijumpai beberapa kententuan pidana yang secara logis harus dipandang sebagai dasar-dasar yang meniadakan penuntutan dan buku sebagai dasar-dasar yang meniadakan pidana antara lain : pasal 166; 221 ayat 2; 284 ayat 2 KUHP.


 


 


 


 


 

BAB V

GUGURNYA HAK MENUNTUT NEGARA


 

Dalam hukum pidana ada diatur tentang dasar-dasar atau alasan-alasan untuk gugurnya hak menuntut yang diatur dalam Buku I Bab VIII yaitu :

  1. Telah ada putusan hakim yang tetap mengenai tindakan yang sama.

    Perumusan ketentuan mengenai ne bis in idem tercantum dalam :

    Pasal 76 ayat 1 KUHP kecuali dalam hal putusan hukum masih dapat dimintakan peninjauan kembali (herziening), seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena tindakan (feit) yang oleh hukum Indonesia telah diadili dengan putusan yang sudah mempunyai kekuatan yang tetap (kracht van jewijsde) terhadap dirinya.

        Ayat 2 : jika putusan yang sudah mempunyai kekuatan yang tetap itu berasal dari hukum lain, maka terhadap orang itu dan karena tindakan itu tidak boleh diadakan penuntutan bagi dalam hal:

    1. putusan berupa pembebasan dari dakwaan (Vrijspraak) atau pelepasan dari tuntutan hukum (Ontslag Van Rechtvervolging).
    2. putusan berupa pemanduan yang seluruhnya telah dilaksanakan, grasi atau yang telah dalawarsa pelaksanaan pidana tersebut.


     

    Perkataan ne bis in idem secara harafiah berarti " tidak dua kali dalam yang sama". Jadi, asas ne bis in idem: suatu asas yang menegaskan bahwa suatu perkara yang sudah mendapat keputusan hakim yang mempunyai kekuatas pasti, tidak dapat digugat kembali untuk kedua kalinya, dengan syarat bahwa perkara tersebut:

    a. sama pelakunya

    b. sama perbuatan/kesalahannya

    c. atas kesalahan pelaku tersebut sudah ada vonis hakim yang pasti dan tetap.

    Ne bis in idem berarti tidak melakukan pemeriksaan untuk kedua kalinya mengenai tindakan (feit) yang sama. Ketentuan ini disahkan pada pertimbangan, bahwa pada suatu saat (nantinya) harus ada akhir dari pemeriksaan/penuntutan dan akhir dari baliknya ketetuan pidana terhadap suatu delik tertentu.

    Azas ini merupakan pegangan agar tidak lagi mengadakan pemeriksaan/penuntutan terhadap pelaku yang sama dari suatu tindakan pidana yang sudah mendapat putusan hukum yang tetap. Dengan maksud untuk menghindari dua putusan terhadap pelaku dan tindakan yang sama juga untuk menghindari usaha penyidikan/penuntutan terhadap perlakuan delik yang sama, yang sebelumnya telah pernah ada putusan yang mempunyai kekuatan yang tetap.

    Tujuan dari atas ini ialah agar kewibawaan negara tetap dijunjung tinggi yang berarti juga menjamin kewibawaan hakim serta agar terpelihara perasaan kepastian hukum dalam masyarkat. Kuota putusan dikatakan sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila upaya hukum yang biasa yaitu perlawanan, banding, kasasi tidak dapat lagi digunakan baik karena lewat waktu, atau pun karena tidak dimanfaatkan atau putusan diterima oleh pihak-pihak.


     

Agar supaya suatu perkara tidak dapat diperiksa untuk kedua kalinya apabila :

  • Perbuatan yang didakwakan (untuk kedua kalinya) adalah sama dengan yang didakwakan terdahulu.
  • Pelaku yang didakwa (untuk kedua kalinya) adalah sama.
  • Untuk putusan yang pertama terhadap tindakan yang sama itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

    Suatu keputusan hakim dikatakan sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti/tetap, maksudnya sudah tidak ada lagi upaya-upaya hukum lain banding/kasasi) yang akan diajukan untuk membantah/menolak putusan tersebut. Hal ini mengandung arti pula bahwa para pihak yang berperkara (jaksa dan tertuduh dalam sidang pidana atau penggugat dan tergugat dalam sidang perdata) sudah saling menerima/menyetujui putusan hakim itu.

Belakangan dasar Ne bis in idem Itu digantungkan kepada hal, bahwa terhadap seseorang itu juga mengenai peristiwa yang tertentu telah diambil keputusan oleh hakim dengan vonis yang tidak diubah lagi. Putusan ini berisi:

  1. Penjatuhan hukuman (veroordeling). Dalam hal ini oleh hakim diputuskan, bahwa terdakwa terang salah telah melakukan peristiwa pidana yang dijatuhkan kepadanya; atau
  2. Pembebasan dari penuntutan hukum (outslag van rechisvervolging). Dalam hal ini hakim memutuskan, bahwa peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa itu dibuktikan dengan cukup terang, akan tetapi peristiwa itu ternyata bukan peristiwa pidana, atau terdakwanya kedapatan tidak dapat dihukum, karena tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya itu, atau
  3. Putusan bebas (vrijspraak). Putusan ini berarti, bahwa kesalahan terdakwa atas peristiwa yang dituduhkan kepadanya tidak cukup buktinya.


 

Putusan sela ialah putusan sementara yang diberikan oleh Hakim atas suatu perkara yang belum dapat diselesaikan sacara tuntas.

Contoh:

Putusan pembebasan suatu perkara dari penuntut karena surat-surat/bukti-bukti tuntutan yang diajukan kurang lengkap. Karena putusan sela inibersifat sementara, maka tentu saja putusan sela belum dapat menjamin berlakunya asas "Ne bis in idem". Di samping itu dengan adanya putusan sela saja sudah cukup manandakan bahwa suatu perkara itu belum terselesaikan secara tuntas.


 

  1. Terdakwa Meninggal Dunia

    Pasal 77 KUHP : Hak menuntut hukum gugur (tidak laku lagi) lantaran si terdakwa meninggal dunia. Apabila seorang terdakwa meninggal dunia sebelum ada putusan terakhir dari pengadilan maka hak menuntut gugur. Jika hal ini terjadi dalam taraf pengusutan, maka pengusutan itu dihentikan.

    Jika penuntut telah dimajukan, maka penuntut umum harus oleh pengadilan dinyatkaan tidak dapat diterima dengan tentunya (niet-outvanhelijk verklaard). Umumnya demikian apabila pengadilan banding atau pengadilan kasasi masih harus memutuskan perkaranya.

    Dalam pasal 77 KUHP terletak suatu prinsip, bahwa penuntutan hukum itu harus ditujukan kepada diri pribadi orang. Jika orang yang dimaksud telah melakukan peristiwa pidana itu meninggal dunia, maka tuntutan atas peristiwa itu habis sampai demikian saja artinya tidak dapat tuntutan itu lalu diarahkan kepada ahli warisnya.

    Pengecualiannya diatur dalam pasal 361 dan 363 H.I. R yang menerangkan bahwa dalam hal menuntut denda, ongkos perkara atau merampas barang barang yang tertentu mengenai pelanggaran tentang penghasilan negara dan cukai, tuntutan itu dapat dilakukan kepada ahli waris orang yang bersalah.

  • Meninggalnya si pelaku tidak selalu mutlak berarti bahwa hak untuk menuntut kesalahannya menjadi gugur, karena terhadap prinsip ini terdapat juga kekecualian, yakni bila penuntutan tersebut berupan tuntutan yang berancaman hukuman tertentu di mana yang menjadi sasaran selain pelaku juga barang-barang atau hak-hak tertentu yang dimilikinya atau berada di bawah penguasaaannya, yang biasanya ialah hukuman denda dan hukuman tambahan.


     

    Contoh:

    • hukuman denda dapat dibebankan kepada ahli waris terhukum bila seandainya terhukum telah meninggal sebelum menjalaninya.
    • harta benda seorang terhukum yang telah terbukti bersalah melakukan korupsi dapat dirampas oleh negara dari tangan ahli warisnya bila terhukum sendiri sudah meninggal. Banyaknya harta yang terkena perampasan negara tersebut adalah seharga dengan kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan terhukum tersebut.


     


     

    Hak-hak tertentu seseorang dapat dicabut dari tangan ahli warisnya bila ia sudah meninggal, dengan syarat bila:

        a. telah disalahgunakan olehnya semasa hidupnya

    b. penyalahgunaan tersebut terbukti atau diduga keras akan dilanjutkan oleh ahli warisnya.

    Meninggalnya terhukum tidak menghalangi terlaksananya pengumuman keputusan hakim mengenai perkara yang ditimbulkan terhukum semasa hidupnya agar diketahui umum dan sebagainya.

    Oleh karena sifat individual hukum acara pidana, maka baik wewenang penuntut umum untuk menuntut pidana seseorang yang disangka melakukan delik, maupun wewenang untuk mengeksekusi pidana hapus karena kematian terdakwa atau terpidana.


 

  1. Perkara Tersebut Daluwarsa / Lewat Waktunya

    Dalam pasal 78 ayat 1 KUHP : Hak menuntut hukuman gugur (tidak dapat dijalankan lagi) karena lewat waktunya :

    1. Sesudah lewat satu tahun bagi segala pelanggar dan bagi kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan percetakan;
    2. Sesudah lewat enam tahun, bagi kejahatan, yang terancam hukuman dendan, kurungan atau penjara yang tidak lebih dari 3 tahun.
    3. Sesudah lewat dua belas tahun, bagi segala kejahatan yang terancam hukuman penjara sementara, yang lebih dari 3 bulan.
    4. Sesudah lewat delapan belas tahun bagi semua kejahatan yang terancam dilakukan mati atau penjara seumur hidup.


     


     

    Ayat 2 :

    Bagi orang yang sebelum melakukan perbuatan itu umurnya belum cukup delapan belas tahun, maka tempo gugur waktu yang tersebut diatas dikurangi sehingga jadi sepertiganya. Ration pendakwaan hak penuntut dalam memorie penjelasan disebutkan sebagai dasarnya ialah :

    1. Semakin kaburnya kebutuhan untuk terus menerus mengeja/menuntut tersangka karena telah terlalu lamanya berlalu kejadian / delik itu dari ingatan manusia terhadapnya juga menipis; dan
    2. Semakin sukarnya menemukan alat pembuktian terhadap delik tersebut. Apabila diperhatikan tenggang dalawarsa yang ditentukan dalam pasal 78 KUHP, kiranya penentuan lamanya tanggal waktu itu erat hubungannya antara tingkat atau berat / ringannya tindak pidana dengan ingantan manusia (masyarakat/mengenai kejadian tersebut dalam hubungannya dalam perasaan keadilan masyarakat tersebut artinya apabila seseorang itu menyingkir sekian lamanya dari masyarakat termasuk pejabat-pejabat penyidik dan jaksa


     

    Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat tersebut sudah akan memaafkan kejadian tersebut seandainya tersangka itu kembali dalam masyarakat yang bersangkutan. Dan juga dapat dimengerti bahwa menjadi buronan selama tenggang waktu tersebut, sudah merupakan hukuman tersendiri bagi tersangka yang bersangkutan. Dari sudut kepastian hukum sudalah sewajarnya apabila dalam waktu tertentu harus dihentikan suatu usaha mengejar/penuntutan, karena usaha penyidikan yang berlarut-larut, tidaklah mendidik masyarakat untuk menunjukkan respeknya kepada hukum.

    Cara-cara perhitungan mulai sampai habisnya tenggang waktu hak untuk menuntut hukuman :

    Menurut pasal 79 KUHP, untuk berbagai tindak pidana pada umumnya tenggang waktu hak untuk menuntutnya terhitung sejak sehari setelah tindak pidana itu dilakukan, kecuali untuk beberapa tindak pidana tertentu secara khusus diatur daluwarsa tersendiri, yakni :

    1. Untuk tindak pidana pemalsuan atau pengrusakan uang, tenggang waktu itu dihitung mulai sehari sesudah benda yang dipalsukan tersebut dipakai orang.
    2. Untuk tindak pidana penculikan orang , perampasan kemerdekaan orang atau melarikan orang, maka tenggang waktu itu terhitung mulai sehari sesudah orang yang menjadi korban tindak pidana tersebut itu meninggal atau dibebaskan oleh pelakunya.
    3. Untuk tindak pidana pelanggaran terhadap pencatatan-pencatatan umum yang harus diketahui oleh Kepaniteraan Pengadilan Negeri, (misalkan pencatatan perkawinan, kematian, data hasil cacah jiwa atau sensus dan sebagainya), tenggang waktu itu dihitung mulai sejak sehari setelah daftar hasil pencatatan tersebut yang bersangkutan ke Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.


     

    Pencegahan kadarluwarsa menurut pasal 80 ayat (1) KUHP pada dasarnya ialah setiap perbuatan penuntutan, dalam arti pengajuan tuntutan atas dirinya terdakwa kemuka Hakim yang diketahui oleh terdakwa tersebut atau diumumkan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam undang – undang umum. Pencegahan dalurwarsa itu dengan penangguhan atau penundaan daluwarsa adalah tidak sama.


     

    Perbedaannya ialah:

Pencegahan daluwarsa

Penangguhan dalurwarsa 

-Dilakukan dengan perbuatan – perbuatan penuntutan atas diri terdakwa.

-setelah pencegahan ini berlakulah tenggang waktu daluwarsa yang baru atau dengan perkataan yang lain, mulainya tenggang waktu daluwarsa itu diulangi kembali.

-Dilakukan dengan pengalihan terdakwa ke perkara lain yang harus didahulukan.

-setelah pengangguhan ini yang berlangsung kembali ialah tenggang waktu daluwarsa yang lama yang berupa sisa waktu yang masih ada.

  1. Terjadinya Penyelesaian Diluar Persidangan

    Penyelesaian perkara di luar sidang ialah suatu penyelesaian yang hanya dapat dilaksanakan atas perkara yang ancaman hukuman pokoknya hanya denda saja, karena selain perkara – perkara semacam ini, semuanya harus diselesaikan melalui sidang.

    Pasal 82 KUHP yang berbunyi :

    Ayat 1 :

    Hak menuntut hukum karena pelanggaran yang terancam hukuman utama tak lain dari pada denda, tidak berlaku lagi jika maksimum denda dibayar dengan kemauan sendiri dan demikian juga dibayar ongkos mereka, jika penilaian telah dilakukan, dengan izin amtenaar yang ditunjuk dalam undang-undang umum, dalam tempo yang ditetapkannya.

    Ayat : 2 Jika perbuatan itu terencana selamanya denda juga benda yang patut dirampas itu atau dibayar harganya, yang ditaksir oleh amtenaar yang tersebut dalam ayat pertama.

Ayat : 3

Dalam hal hukuman itu ditambah diubahkan berulang-ulang membuat kesalahan, boleh juga tambahan itu dikehendaki jika hak menuntut hukuman sebab pelanggaran yang dilakukan dulu telah gugur memenuhi ayat pertama dan kedua dari pasal itu.

Ayat : 4

Peraturan dari pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum dewasa, yang umurnya sebelum melakukan perbuatan itu belum cukup enam belas tahun.


 

Penghapusan hak penuntutan bagi penuntut umum yang diatur dalam pasal 82 KUHP mirip dengan ketentuan hukum perdata mengenai transaksi atau perjanjian. Disatu pihak penyidik atau penuntut umum dan pihak lainnya tersangka merupakan pihak-pihak yang sederajat terhadap hukum.

Dalam perjanjian ini penuntut umum wajib menghentikan usaha penuntutannya dan sebagai imbalannya tersangka wajib membayar maksimum denda yang hanya satusatunya diancamkan ditambah dengan biaya penuntutan apabila usaha penuntutan sudah dimulai.

Jadi, pembayaran denda harus dilakukan kepada penuntut umum dalam waktu yang ditetapkan oleh penuntut umum tersebut. Kiranya tidak dapat dipungkiri bahwa acara ini berasal dari hukum perdata, seperti halnya kebaikan pihak-pihak menjelaskan suatu delik aduan.

Jelas bahwa cara ini bertentangan dengan sifat hukum pidana yang merupakan bagian dari hukum publik. Namun demikian, dalam perkara-perkara kecil yang ancaman hukumannya hanya diancam dengan pidana denda saja sifat hukum publik itu perlu disimpangi untuk mempermudah dan mempercepat acara penyelesaiannya.


 

Perbedaan akibat bagi terhukum antar menjalani hukuman denda biasa dengan jika seandainya ia membayar denda penyelesaian perkara diluar sidang yaitu :

Menjalani hukuman denda secara biasa 

Membayar dendan penyelesaian perkara diluar sidang 

  1. Terhukum menjalani hukuman denda ini (membayar denda untuk kas negara) menurut keputusan Hakim
  2. Denda yang dibayar mungkin lebih ringan karena belum tentu denda maksimum (tergantung pada pertimbangan Hakim), tetapi tidak menghapus kesan bahwa pelaku tercatat sebagai pernah dihukum,berhubung denda yang dibayarnya itu teranggap sebagai denda hukuman biasa.
  3. Akibatnya bila seandainya lain kali pelaku tersebut melakukan tindak pidana lagi (baik yang serupa maupun yang berlainan macamnya), ia telah dianggap sebagai residivis.
  1. Terhukum membayar denda untuk kas negara berdasarkan kemauannya sendiri dengan izin jaksa.
  2. Denda yang dibayar sudah pasti lebih berat karena denda maksimum (tertinggi), tetapi dengan demikian pelaku bebas dan tidak tercatat sebagai orang yang pernah dihukum, berhubung denda yang di bayarnya itu sudah dapat dianggap sebagai denda damai pengakhir perkara.


     

  3. Akibatnya bila seandainya lain kali pelaku tersebut melakukan tindak pidana lagi (baik yang serupa maupun yang berlainan macamnya), ia belum dapat dianggap sebagai residivis.


 

Gugurnya hak untuk menuntut hukuman dapat juga disebabkan karena adanya amnesti dan abolisi yang tidak diatur dalam KUHP, melainkan diatur dalam pasal 14 UUD 1945 (Undang –Undang Dasar 1945). Dimanakah letak persamaan dan perbedaan antara amnesti dan abolisi?

Persamaan ialah:

Baik amnesti maupun abolisi kedua – duanya merupakan hak prerogatif atau hak istimewa Kepala Negara berdasarkan UUD 1945 untuk mencegah atau menghilangkan penuntutan atas diri seseorang atau orang – orang tertentu yang telah melakukan suatu kesalah atau beberapa kesalahan tertentu, sehingga hak menuntut atas mereka menjadi gugur.

Perbedaannya ialah :

Amnesti

Abolisi  

  • Merupakan pencegahan penuntutan atas beberapa orang atau segerombolan orang - orang yang telah melakukan kesalahan, sebelum penuntutan tersebut mulai dilaksanakan 
  • Merupakan penghentian penuntutan yang sudah berjalan atas diri seorang atau beberapa orang yang telah melakukan kesalahan.


 


 


 


 

BAB VI

KESIMPULAN


 

Dari uraian diatas dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut :

  1. Pasal 1 butir 7 KUHAP : penuntutan adalah tindakah penuntut umum untuk melanjutkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim disidang pengadilan.
  2. Hapus hak menuntut disebabkan beberapa alasan sebagai berikut :

    Berdasarkan KUHP, antara lain :

  • Telah ada putusan hakim yang tetap mengenai tindakan yang sama
  • Terdakwa meninggal dunia
  • Perkara tersebut dalawarsa / lewat waktunya
  • Terjadi penyelesaian diluar persidangan.

Sedangkan yang diluar KUHP, yang diatur dalam pasal 14 UUD 1945 :

  • Grasi
  • Amnesti
  • Abolisi


 


 


 

Tidak ada komentar: