Kamis, 23 Juni 2011

Analisis terhadap ACFTA

Masalah perekonomian merupakan masalah yang tiada batasnya. Indonesia merupakan salah satu dari 3 negara Asia, disamping China dan India yang tetap tumbuh positif saat Negara lain terpuruk akibat krisis finansial global. Ini merupakan suatu prestasi dan optimisme bagi masa depan perekonomian Indonesia. Dengan kondisi ini, pemerintah mengadakan Asean-China Trade Agreement (ACFTA) guna menghadapi persaingan global.

ACFTA(ASEAN-China Free Trade Area) adalah sebuah persetujuan kerjasama ekonomi regional yang mencakup perdagangan bebas antara negara anggota ASEAN (Assosiation of South East Asian Nation) dengan China. Persetujuan ini telah disetujui dan ditandatangani oleh negara-negara ASEAN dan China pada tanggal 29 November 2004. Dalam kerjasama ini, hambatan-hambatan tarif dan non-tarif dihilangkan atau dikurangi dalam rangka mewujudkan perdagangan bebas dalam kawasan regional ASEAN dan China. Namun, tidak semua anggota ASEAN menyetujui penghapusan tarif dalam waktu bersamaan. ASEAN6 yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, dan Filipina menyetujui penghapusan per 1 Januari 2010 sedangkan CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos,dan Vietnam) baru akan mengeliminasi dan menghapus tarif 1 Januari 2015.

Tidak hanya itu, negara-negara yang telah menyetujuinya juga akan meningkatkan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi serta meningkatkan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para Pihak ACFTA. Di dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and People's Republic of China, kedua pihak sepakat akan melakukan
kerjasama yang lebih intensif di beberapa bidang seperti pertanian, teknologi
informasi, pengembangan SDM, investasi, pengembangan Sungai Mekong, perbankan, keuangan, transportasi, industri, telekomunikasi, pertambangan, energi, perikanan, kehutanan, produk-produk hutan dan sebagainya. Kerjasama ekonomi ini dilakukan untuk mencapai tujuan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China.

Dalam Framework Agreement, para pihak menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui:

  1. Penghapusan tarif dan hambatan non tarif dalam perdagangan barang;
  2. Liberalisasi secara progressif barang dan jasa;
  3. Membangun regim investasi yang kompetitif dan terbuka dalam rangka ASEAN-China FTA.

Landasan Hukum

Dalam membentuk ACFTA, para Kepala Negara Anggota ASEAN dan China telah menandatangani ASEAN - China Comprehensive Economic Cooperation pada tanggal 6 Nopember 2001 di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam. Sebagai titik awal proses pembentukan ACFTA para Kepala Negara kedua pihak menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and People's Republic of China di Phnom Penh, Kamboja pada tanggal 4 Nopember 2002. Protokol perubahan Framework Agreement ditandatangani pada tanggal 6 Oktober 2003, di Bali, Indonesia. Protokol perubahan kedua Framework Agreement ditandatangani pada tanggal 8 Desember 2006.

Indonesia telah meratifikasi Ratifikasi Framework Agreement ASEAN-China FTA melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004. Setelah negosiasi tuntas, secara formal ACFTA pertama kali diluncurkan sejak ditandatanganinya Trade in Goods Agreement dan Dispute Settlement Mechanism Agreement pada tanggal 29 November 2004 di Vientiane, Laos.

Persetujuan Jasa ACFTA ditandatangani pada pertemuan ke-12 KTT ASEAN di Cebu, Filipina, pada bulan Januari 2007. Sedangkan Persetujuan Investasi ASEAN China ditandatangani pada saat pertemuan ke-41 Tingkat Menteri Ekonomi ASEAN tanggal 15 Agustus 2009 di Bangkok, Thailand.


 

Peraturan Nasional terkait ACFTA

  • Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004 tentang Pengesahan Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the Associaton of Southeast Asean Antions and the People's Republic ofChina.
  • Keputusan Menteri Keuangan Republi Indonesia Nomor 355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dalam rangka Early Harvest Package ASEAN-China Free Trade Area.
  • Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 57/PMK.010/2005 tanggal 7 Juli 2005 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEANChina Free Trade Area.
  • Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK.010/2006 tanggal 15 Maret 2006 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area.
  • Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 04/PMK.011/2007 tanggal 25 Januari 2007 tentang Perpanjangan Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area.
  • Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 53/PMK.011/2007 tanggal 22 Mei 2007 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area.
  • Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 235/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area.


 

Secara lebih spesifik, ACFTA antara lain bertujuan untuk :

  • Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi antara negara-negara anggota.
  • Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa

    serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah investasi.

  • Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan

    yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota.

  • Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru

    (Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam– CLMV) dan menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota.


 


 

Dampak ACFTA terhadap perekonomian Indonesia

Di dalam tabel berikut ini disajikan data mengenai jumlah ekspor impor Indonesia ke negara-negara ASEAN dan China.


 


 


 


 


 

Tabel 2.2 Ekspor Impor Indonesia ke Negara-negara ASEAN China


 

Merujuk pada data diatas, terlihat bahwa Indonesia sangat bergantung pada impor dari negara ASEAN lainnya, terlebih lagi bergantung pada China. Perbandingan antara jumlah ekspor dan impor yang dilakukan Indonesia masih jauh timpang. Contohnya hubungan dagang yang dilakukan dengan Singapura, Indonesia melakukan ekspor yang terus naik mulai dari bulan Januari 2009 hingga Januari 2010, namun sebaliknya angka impor turut naik berbanding lurus dengan angka ekspor. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan masih sangat bergantung pada impor yang dilakukan dengan negara lain.

Dalam hal ini, terdapat dampak positif dan negatif dari adanya ACFTA yang diberlakukan oleh Indonesia.

  1. Dampak Negatif
    1. Serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran
      sektor-sektor ekonomi yang diserbu.
    2. Pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang
      sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga 25%.
    3. Karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah karena segalanya bergantung pada asing dan sektor-sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing.
    4. Peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangan kerja semakin menurun.
  2. Dampak Positif dari adanya ACFTA
    1. ACFTA akan membuat peluang kita untuk menarik investasi.
    2. Dengan adanya ACFTA dapat meningkatkan voume perdagangan.
    3. ACFTA akan berpengaruh positif pada proyeksi laba BUMN 2010 secara agregat.


 

Langkah Pemerintah Indonesia dalam Mengambil Keputusan Bergabung dengan ACFTA

Berdasarkan analisis di atas, dapat dilihat bahwa Indonesia cenderung belum siap dengan keputusannya bergabung dengan ASEAN-6 untuk melakukan perdagangan bebas dalam ACFTA per 1 Januari 2010. Namun demikian, pemerintah tetap memberlakukan kebijakan tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah apa alasan pemerintah Indonesia dibalik keputusan bergabung dengan ASEAN-6 dalam memberlakukan ACFTA per 1 Januari 2010 dan bukan bergabung dengan CLMV yang memberlakukan ACFTA per 1 Januari 2015.

Adapun kebijakan Indonesia untuk bergabung dengan ASEAN-6 dirasakan sebagai sebuah upaya yang dinilai cukup efektif untuk membangun dan mempertahankan citra positifnya di forum internasional, terutama citra positif yang terkait dengan aspek ekonomi.

Dengan menyetujui ACFTA dan bergabung dengan ASEAN-6 yang notabene dinilai lebih siap dari CLMV, Indonesia dapat menciptakan citra kematangan ekonominya. Hal ini disebabkan karena forum internasional akan melihat bahwa Indonesia telah siap secara ekonomi untuk bersaing dan stabil secara ekonomi sehingga peluang investasi akan lebih besar. Disini kita dapat melihat interest Indonesia terutama dalam bidang ekonomi untuk menciptakan citra positif agar dapat mendorong iklim investasi yang baik dan pada akhirnya dapat memberikan keuntungan ekonomi kepada Indonesia.

Secara Hukum, Indonesia Sulit Mundur dari ACFTA

Ketentuan yang menyebutkan ACFTA akan diberlakukan pada tahun 2010 terdapat pada Pasal 8 Ayat (1) Kerangka Perjanjian. Meskipun penundaan keberlakuan ACFTA dimungkinkan, tetapi akan sulit dilakukan oleh Indonesia, karena :

  1. Indonesia menandatangani Perjanjian Perdagangan Barang bersama negara-negara ASEAN yang telah tergabung dalam Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA). Artinya, Indonesia tidak dalam kapasitas sebagai sebuah negara di ASEAN, tetapi atas dasar bagian dari AFTA. Oleh karena itu, penundaan, bila diinginkan, harus melalui dua tahapan, antara lain :
    1. Meyakinkan negara-negara ASEAN agar ASEAN mau meminta penundaan kepada China.
    2. ASEAN yang telah satu suara dalam penundaan untuk Indonesia bernegosiasi dengan China agar Perjanjian Perdagangan Barang ditunda keberlakuannya. Proses ini akan sangat sulit dan memakan waktu, padahal keberlakuan dari Perjanjian Perdagangan Barang saat ini sudah berlangsung.
  2. Penundaan akan masuk dalam klausul amandemen. Keinginan Indonesia untuk menunda jangka waktu ataupun sektor tertentu akan masuk dalam kategori mengamandemen ketentuan Pasal 8 Kerangka Perjanjian. Dalam Kerangka Perjanjian memang diatur apabila ada pihak yang hendak mengamandemen isi dari perjanjian. Ini diatur dalam Pasal 14 yang menyebutkan, "Ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini dapat dimodifikasi melalui amandemen yang disetujui bersama secara tertulis oleh para pihak". Kesulitan terletak pada kenyataan bahwa amandemen harus dilakukan oleh semua negara ASEAN dengan China meskipun untuk hubungan yang bersifat bilateral. Preseden mengenai hal ini pernah terjadi. Pada 8 Desember 2006, kerangka Perjanjian telah diamandemen terkait masalah bilateral antara Vietnam dan China. Amandemen ini tertuang dalam Protokol untuk Amendemen Kerangka Perjanjian mengenai Kerja Sama Ekonomi Komprehensif antara Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara dan Republik Rakyat China (Protocol to Amend the Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between Association of South East Asian Nations and People's Republic of China). Meskipun yang diatur bersifat bilateral, tetapi perjanjian untuk mengamandemen harus dilakukan oleh semua negara ASEAN dengan China.
  3. Apabila Indonesia berkeras untuk tidak memberlakukan Perjanjian Perdagangan Barang, sementara China tidak menyetujuinya, ini bisa berujung pada sengketa. Sengketa terkait dengan Perjanjian Perdagangan Barang telah mendapat pengaturan, yaitu dalam Pasal 21 yang menyebutkan, "Perjanjian tentang Mekanisme Penyelesaian Sengketa antara ASEAN dan China akan berlaku untuk Perjanjian ini". Mekanisme penyelesaian sengketa telah mendapat pengaturan dalam Perjanjian Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Agreement) yang ditandatangani pada tanggal 29 November 2004 oleh ASEAN dan China. Kendati belum pernah dimanfaatkan, penyelesaian sengketa tentu akan memakan waktu dan energi. Bagi Indonesia, pilihan yang realistis—meski harus dibayar mahal—tampaknya adalah memberlakukan ACFTA sesuai Kerangka Perjanjian dan Perjanjian Perdagangan Barang. Namun, Indonesia harus dapat memanfaatkan ACFTA untuk keuntungannya dan tidak sebaliknya. Indonesia juga harus memanfaatkan ketentuan-ketentuan yang tersedia untuk melindungi industri dalam negerinya.

Negosiasi yang dilakukan Pemerintah atas pemberlakuan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) tidak akan mengubah keberlakuan perjanjian internasional tersebut. Kalaupun China setuju atas usul Indonesia, pembatalan perjanjian tak mungkin dilakukan jika negara anggota ASEAN lainnya tidak setuju.

Pandangan itu disampaikan dua guru besar hukum internasional, Huala Adolf dan Hikmahanto Juwana. Menurut Huala, Guru Besar di bidang Hukum Privat Internasional Universitas Padjadjaran Bandung, yang bisa dilakukan Pemerintah adalah negosiasi. Tetapi bukan untuk membatalkan perjanjian, melainkan untuk meminimalisir kesulitan yang dihadapi produk lokal akibat perdagangan bebas ASEAN dan China. Perjanjian itu membuka keras seluas-luasnya bagi produk China dan negara ASEAN lain ke pasar domestik Indonesia.


 

Saran

  1. Pemerintah sepatutnya melakukan langkah antisipatif untuk memberikan kesempatan industri lokal berkembang, peningkatan kapasitas terpasang di seluruh cabang industrimanufaktur, deregulasi perizinan, perbaikan infrastruktur listrik, jalan, dan pelabuhan,serta akses intermediasi perbankan yang menarik bagi investor dan peduli terhadap Market Domestic Obligation (MDO).
  2. UKM (usaha kecil menengah) perlu ditingkatkan guna memajukan daya saing produkyang semakin ketat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan keringanan terhadap para wirausahawan dalam memperoleh kredit usaha.
  3. Pemerintah harus tetap konsisten dengan kewajiban penggunaan bahan baku local untuk berbagai sektor infrastruktur.

Beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah dalam menghadapi kondisi negatif ACFTA adalah:

1. Restrukturisasi skema perdagangan bebas ASEAN-China.

2. Proteksi terhadap pasar domestik dengan menetapkan standar untuk barang-barang tertentu.

3. Meningkatkan produksi dalam negeri, terutama untuk produk-produk olahan.

4. Melakukan kebijakan substitusi impor untuk komoditi tertentu.

5. Merubah arah industrialisasi berbasis pertanian.

6. Meningkatkan ekspor produk-produk unggulan.

7. Lebih memperhatikan kekuatan lobi politik atau daya tawar pemerintah dalam deal-deal politik tingkat internasional.

Tidak ada komentar: