DISUSUN
OLEH :
Agnes Adriani Halim (090200139)
Esra Stephani (090200140)
Yessica Tan (090200142)
Netty Karolin H. (090200146)
Sherly Novitas Sari S. (090200153)
Sahat
Berkat LG (090200182)
Carina
Etta Siahaan (090200344)
Joice
Simatupang (090200404)
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunianya tugas ini dapat selesai
tepat pada waktunya. BAB I Skripsi ini dibuat untuk
memenuhi salah satu tugas akhir semester 6 pada mata
kuliah MPH.
Kami sebagai penyusun mengucapkan
terimakasih banyak pada pihak-pihak yang telah membatu kami, terutama Bapak
Mahmul Siregar selaku dosen mata kuliah MPH dan pembimbing
dalam pembuatan BAB I ini karena
tanpa bimbingan dan masukan dari beliau, tugas MPH ini mungkin tidak akan
selesai tepat pada waktunya.
Makalah
ini tentunya masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang bersifat membangun akan kami terima dengan tangan terbuka. Akhir kata,
kami ucapkan terima kasih.
Medan, 14 Juni 2012
Hormat kami,
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik.
Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran
hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan.
Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah.
Perkembangan
korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia.
Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat
peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah.
Hal ini juga ditunjukkan dari kasus-kasus korupsi di Indonesia.
Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya
dibicarakan publik, terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional.
Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada
dasarnya, ada yang pro ada pula yang kontra. Akan tetapi, walau bagaimanapun
korupsi ini merugikan negara dan dapat merusak sendi-sendi kebersamaan bangsa.
Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang
merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya
pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Dalam prakteknya, korupsi sangat
sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit
memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak. Disamping itu sangat sulit
mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan
korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah
maupun oleh masyarakat itu sendiri.
Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok
masyarakat yang memakai uang sebagai standart kebenaran dan sebagai kekuasaaan
mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup
yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan
sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi
dimata masyarakat Korupsi sudah berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno,
Babilonia, Roma sampai abad pertengahan dan sampai sekarang.
Korupsi terjadi diberbagai negara, tak terkecuali di
negara-negara maju sekalipun. Di negara Amerika Serikat sendiri yang sudah
begitu maju masih ada praktek-praktek korupsi. Sebaliknya, pada masyarakat yang
primitif dimana ikatan-ikatan sosial masih sangat kuat dan kontrol sosial yang
efektif, korupsi relatif jarang terjadi. Tetapi dengan semakin berkembangnya
sektor ekonomi dan politik serta semakin majunya usaha-usaha pembangunan dengan
pembukaan-pembukaan sumber alam yang baru, maka semakin kuat dorongan individu
terutama di kalangan pegawai negari untuk melakukan praktek korupsi dan
usaha-usaha penggelapan.
Korupsi dimulai dengan semakin mendesaknya
usaha-usaha pembangunan yang diinginkan, sedangkan proses birokrasi relaif
lambat, sehingga setiap orang atau badan menginginkan jalan pintas yang cepat
dengan memberikan imbalan-imbalan dengan cara memberikan uang pelicin (uang
sogok). Praktek ini akan berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya
kontrol dari pemerintah dan masyarakat, sehingga timbul golongan pegawai yang
termasuk OKB-OKB (orang kaya baru) yang memperkaya diri sendiri (ambisi
material). Agar tercapai tujuan pembangunan nasional, maka mau tidak mau
korupsi harus diberantas. Ada beberapa cara penanggulangan korupsi, dimulai
yang sifatnya preventif maupun yang represif.
I.2
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini
adalah :
1. Bagaimana
kondisi tindak pidana korupsi di Indonesia?
2. Apa
saja yang dikatakan tindak pidana korupsi dan bagaimana sanksinya yang diatur dalam
UU TIPIKOR?
3. Apa
sajakah hal-hal khusus yang diatur dalam UU TIPIKOR?
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 PERKEMBANGAN KORUPSI DI
INDONESIA
I.
Era Sebelum
Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi
korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan
wanita. Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan
Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Penyebab
utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350
tahun (versi Sejarah Nasional), sebenarnya lebih karena perilaku elit bangsawan
yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan
aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan “character building”, mengabaikan
hukum apalagi demokrasi, terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara
tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang
lebih parah mudah diadu domba.
Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur pada bangsa
Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan mudah
menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya
intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak
kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta “berintegrasi’
seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih
didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil
nyaris “belum mengenal” atau belum memahaminya.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan
“budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup”
dalam mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang
(Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem
di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun
sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang
standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih
kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti
Kelapa, Padi, dan Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga
berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya.
II.
Era Pasca
Kemerdekaan
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk
Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata
pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari
Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan
Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota
yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah
diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar
kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban
pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka
berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada
Presiden.
Ada lembaga ini di kemudian dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”.
Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara
lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata
juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut
Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar
negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum
mendapat izin dari atasan.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran
Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya
serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat
pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnas.
III.
Era Orde
Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967,
Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas
korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana.
Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi
sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian
dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi
seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes
keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina,
Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang
korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa,
akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh
tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr
Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara
lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina.
Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan
korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
IV.
Era
Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan
oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen
penyelenggaran negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di
era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak
terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total
terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama
juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali
secara “konsekuen” alias “kelamaan”.
II.2 TINDAK PIDANA KORUPSI DAN SANKSINYA MENURUT
UU NO 20 TAHUN 2001
I.
Macam-Macam
dan Pengelompokan Korupsi
Jika dilihat berdasarkan motif perbuatannya, korupsi itu
terdiri dari empat macam, yaitu:
·
Corruption
by Greed,
motif ini terkait dengan keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi.
·
Corruption
by Opportunities,
motif ini terkait dengan sistem yang memberi lubang terjadinya korupsi.
·
Corruption
by Need,
motif ini berhubungan dengan sikap mental yang tidak pernah cukup, penuh sikap
konsumerisme dan selalu sarat kebutuhan yang tidak pernah usai.
·
Corruption
by Exposures,
motif ini berkaitan dengan hukuman para pelaku korupsi yg rendah.
Terdapat 30 jenis korupsi dalam UU
No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang dijabarkan dalam 13 pasal, korupsi dikelompokkan menjadi tujuh
kelompok, yakni:
1. Merugikan keuangan negara;
2. Suap-menyuap;
3. Penggelapan dalam jabatan;
4. Pemerasan;
5. Perbuatan curang;
6. Benturan kepentingan dalam
pengadaan;
7. Gratifikasi.
II.
BENTUK-BENTUK / TINDAKAN YANG DIANGGAP SEBAGAI PERBUATAN KORUPSI
A. KORUPSI YANG
BERKAITAN DENGAN KERUGIAN NEGARA
1. MELAWAN HUKUM UTUK MEMPERKAYA DIRI DAN
DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA.
Rumusan korupsi pada Pasal 2 UU No. 31 Tahun
1999, pertama kali termuat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a UU No. 3
Tahun 1971. Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 :
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun penjara dan dendan peling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksudkan dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
di jatuhkan. Lihat Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001
2. MENYALAHGUNAKAN KEWENANGAN UNTUK MENGUNTUNGKAN DIRI
DAN DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA.
Rumusan korupsi
yang ada pada Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, pertama kali termuat dalam Pasal 1
ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 1971. Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.
20 Tahun 2001 : (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001):
“Setiap orang yang
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesemptan atau saran yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
1000.000.000 (satu miliar rupiah)”
B. KORUPSI YANG
TERKAIT DENGAN SUAP-MENYUAP
1. MENYUAP
PEGAWAI NEGERI
Rumusan
korupsi pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 berasal
dari Pasal 209 ayat (1) angka 1, dan Pasal 209 ayat (1) angka 2 KUHP, yang
dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan dalam Pasal 5
UU No. 31 Tahu 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dirumuskan
ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 5 ayat
1 huruf a dan b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
(UU No. 20 Tahun2001):
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) setiap orang yang :
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri
atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan jabatannya.
b. Memberi sesuatu
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya.
2. MEMBERI HADIAH KEPADA PEGAWAI NEGERI KARENA
JABATANNYA.
Rumusan korupsi
pada Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 berasal dari Pasal 1 ayat (1) huruf d UU No.
3 Tahun 1971 sebagai Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dirubah rumusannya
pada UU No. 31 Tahun 1999. Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun
2001 :
“Setiap orang yang
memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah
atau janji dianggap melekat pada jabatannya atau kedudukan tersebut, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak
Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Lihat Pasal 12 huruf a, dan huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.
20 Tahun 2001.
3. PEGAWAI NEGERI
MENERIMA SUAP
Rumusan korupsi
pada Pasal 5 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 adalah rumusan Tindak Pidana Korupsi
baru yang dibuat pada UU No. 20 Tahun 2001. Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun
1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Bagi pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
4. PEGAWAI NEGERI
MENERIMA SUAP
Rumusan korupsi
pada Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 419
angka 1 dan angka 2 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3
Tahun 1971 dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi,
yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001. Pasal 12 huruf a, dan
huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 ;
“Dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan jabatannya ;
b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut
diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya ;
5. PEGAWAI NEGERI
MENERIMA HADIAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN JABATANNYA
Rumusan korupsi pada
Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 418 KUHP yang dirumuskan
kembali dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 11 UU No.
31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang dirumuskan ulang pada UU No.
20 Tahun 2001.
Pasal 11 UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda
paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.”
6. MENYUAP HAKIM
Rumusan korupsi
pada Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 210 ayat
(1) angka 1 KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun
1971, dan Pasal 6 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi yang
kemudian dirumuskan kembali dalam UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 6 ayat (1)
huruf a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“ Dipidana
dengan penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang : Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
hakim dengan maksud untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.”
7. MENYUAP ADVOKAT
Rumusan Pasal 6
ayat (1) huruf b UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 210 ayat (1) angka 2
KUHP, yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan
Pasal 6 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian
dirumuskan kembali dalam pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 6 ayat (1)
huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah) setiap orang yang : Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidangpengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara
yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.”
8. HAKIM DAN
ADVOKAT MENERIMA SUAP
Rumusan korupsi
yang ada pada Pasal 6 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 420 ayat
(1) angka 1 dan angka 2 KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU
No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 6 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana
Korupsi yang kemudian dirumuskan kembali dalam pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 6 ayat (2) UU
No 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”
9. HAKIM MENERIMA
SUAP
Rumusan korupsi
pada Pasal 12 huruf c UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 420 ayat (1)
angka 1 KUHP, yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun
1971, dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang
kemudian dirumuskan kembali pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 12 huruf c UU
No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
Hakim yang menerima
hadiah atau janji, padahal diketahuinya atau patut diduga bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili ;
10. ADVOKAT
MENERIMA SUAP
Rumusan korupsi
pada Pasal 12 huruf d UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 420 ayat (1)
angka 2 KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun
1971, dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak
Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan kembali pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 12 huruf d UU
No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili ;
C. KORUPSI YANG
BERKAITAN DENGAN PENGGELAPAN DALAM JABATAN
1. PEGAWAI NEGERI YANG MENGGELAPKAN UANG ATAU
MEMBIARKAN PENGGELAPAN
Rumusan korupsi pada
Pasal 8 UU No. 20 tahun 2001 bersal dari Pasal 415 KUHP, yang dirumuskan dalam
Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 8 UU No. 31 Tahun 1999
sebagai Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dirumuskan kembali pada UU No. 20
Tahun 2001.
Pasal 8 UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling banyak 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri
atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum
secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan
uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya atau membiarkan uang
atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau
membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.”
2. PEGAWAI NEGERI MEMALSUKAN BUKU UNTUK
PEMERIKSAAN ADMINISTRASI
Rumusan korupsi pada
Pasal 9 UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 416 KUHP yang dirumuskan dalam
Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999
sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan kembali pada UU No. 20
Tahun 2001.
Pasal 9 UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), pegawai
negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi.”
3. PEGAWAI NEGERI
MERUSAKKAN BUKTI
Rumusan korupsi
pada Pasal 10 huruf a UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 417 KUHP yang
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 10 UU
No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan
kembali pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 10 huruf a UU
No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri
atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan
umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja :”
Menggelapkan,
menghancurkan, merusakkan atau tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau
daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan dimuka pejabat yang
berwenang, yang dikuasai karena jabatannya ;
4. PEGAWAI NEGERI
MEMBIARKAN ORANG LAIN MERUSAKKAN BUKTI
Rumusan korupsi
pada Pasal 10 huruf b UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 417 KUHP yang
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 10 UU
No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan
kembali pada UU No. 20 Tahun2001.
Pasal 10 huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo.
UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah), pegawai atau orang selain
pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara
terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja :”
Membiarkan orang
lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta surat, atau daftar tersebut ;
5. PEGAWAI NEGERI
MEMBANTU ORANG LAIN MERUSAKKAN BUKTI
Rumusan korupsi
pada Pasal 10 huruf c UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 417 KUHP yang
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan UU No. 31
Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan kembali pada
UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 10 huruf c UU
No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang
selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara
terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja :”
Membantu orang lain
menghilangkan, menghancurkan, merusak atau membuat tidak dapat dipakai barang,
akta, surat atau daftar tersebut.
D. KORUPSI YANG BERKAITAN DENGAN
PERBUATAN PEMERASAN
1.
PEGAWAI NEGERI MEMERAS
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf e
UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 423 KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 1
ayat (1) hruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 2 UU N. 31 Tahun 1999 sebagai
Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan kembali pada UU No. 20 Tahun
2001.
Pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999
jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) :”
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan
maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau
dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu,
membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan
sesuatu bagi dirinya sendiri ;
2.
PEGAWAI NEGERI MEMERAS PEGAWAI
NEGERI YANG LAIN
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf f
UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 425 angka 1 KUHP yang dirumuskan dalam
Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang dirumuskan
kembali pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 12 huruf f UU No. 31 Tahun 1999
jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) :”
Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada peagwai
negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah
pegawai negeri atau penyelenggara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai
utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang ;
3.
PEGAWAI NEGERI MEMERAS
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf g
UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 425 angka 2 KUHP yang dirumuskan dalam
Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang dirumuskan
kembali pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 12 huruf g UU No. 31 Tahun 1999
jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) :”
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang,
seolah-olah merupakan utang kepada dirinya padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang ;
E. KORUPSI YANG
BERKAITAN DENGAN PERBUATAN CURANG
1.
PEMBORONG BERBUAT CURANG
Rumusan korupsi pada Pasal 7 ayat (1)
huruf a UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 387 ayat (1) KUHP yang
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 7 UU
No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang dirumuskan kembali pada
UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 7 ayat (1) huruf a UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1)
Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) :
Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat
bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau
barang, atau keselamatan Negara dalam keadaan perang ;
2.
PENGAWAS PROYEK MEMBIARKAN
PERBUATAN CURANG
Rumusan korupsi pada Pasal 7 ayat (1)
huruf b UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 387 ayat (2) KUHP yang
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 7 UU
No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang dirumuskan kembali pada
UU No 20 Tahun 2001.
Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1)
Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) :
Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau
penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang
dimaksud dalam huruf a ;
3.
REKANAN TNI / POLRI BERBUAT
CURANG
Rumusan korupsi pada Pasal 7 ayat (1)
huruf c UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 388 ayat (1) KUHP yang
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 7 UU
No. 31 tahun 1999, sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang dirumuskan kembali pada
UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 7 ayat (1) huruf c UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1)
Dipidana d engan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta
rupiah) :
a.
Setiap orang yang pada waktu
menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang ;
4.
PENGAWASAN REKAAN TNI / POLRI
BERBUAT CURANG
Rumusan korupsi pada Pasal 7 ayat (1)
huruf d UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 388 ayat (2) KUHP yang
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 7 UU
No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan
kembali pada UU No. 20 Tahun 20001.
Pasal 7 ayat (1) huruf d UU No. 31 Tahun
1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1)
Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 350.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) :
Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang dimaksud
dalam huruf c.
5.
PENERIMAAN BARANG TNI / POLRI
MEMBIARKAN PERBUATAN CURANG
Rumusan korupsi pada Pasal 7 ayat (2)
UU No. 20 Tahun 2001 adalah rumusan Tindak Pidana Korupsi baru yang dibuat pada
UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 7 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999
jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(2)
Bagi orang yang menerima
penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a
atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
6.
PEGAWAI NEGERI MENYEROBOT TANAH
NEGARA SEHINGGA MERUGIKAN ORANG LAIN
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf h
UU No. 20 Tahun 2001berasal dari Pasal 425 angka 3 KUHP yang dirumuskan dalam
Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian
dirumuskan kembali pada UU No.20 Tahun 2001.
Pasal 12 huruf h UU No. 31 Tahun 1999
jo. UU No. 20 Tahun 2001:
“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah) :”
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak
pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan
orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan ;
F.
KORUPSI YANG BERKAITAN DENGAN BENTURAN KEPENTINGAN DALAM PENGADAAN
PEGAWAI NEGERI TURUT SERTA DALAM PENGADAAN YANG
DIURUSNYA
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf
i UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 435 KUHP yang dirumuskan dalam Pasal
1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999
sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan kembali pada UU No. 20
Tahun 2001.
Pasal 12 huruf i UU No. 31 Tahun 1999
jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung
atau tidak langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk
seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
G. KORUPSI YANG BERKAITAN DENGAN
GRATIFIKASI
PEGAWAI NEGERI MENERIMA GRATIFIKASI
DAN TIDAK LAPOR KPK
Rumusan korupsi pada Pasal 12 B UU
No. 20 Tahun 2001 adalah rumusan Tindak Pidana Korupsi baru yang dibuat UU No.
20 Tahun 2001.
Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 jo.
UU No. 20 Tahun 2001 :
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau
tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
a.
Yang nilainya Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
b.
Yang nilainya kurang dari Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap
dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana seumur hidup atu pidana paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12 C UU No. 31 Tahun 1999 jo.
UU No. 20 Tahun 2001 :
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak
berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterima kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Sedangkan Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan
Tindak Pidana Korupsi yaitu :
1.
MERINTANGI PROSES PEMERIKSAAN
PERKARA KORUPSI
Rumusan tindak pidana lain yang
berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 21 merupakan bentuk
pemidanaan yang dimuat pada UU No. 31 Tahun 1999.
Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 :
“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi,
atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun
para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau pidana denda
paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
2.
TERSANGKA TIDAK MEMBERIKAN
KETERANGAN MENGENAI KEKAYAANNYA
Rumusan tindak pidana lain yang
berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 ini
harus dikaitkan dengan Pasal 28 UU No. 31 Tahun 1999.
Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 :
“Setiap orang yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28,
Pasal 29, Pasal 35, dan Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan
atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Pasal 28 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 :
“Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberi
keterangan tentang seluruh harta benda setiap orang atau korporasi yang
diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi
yang dilakukan tersangka.”
3.
BANK YANG TIDAK MEMBERIKAN
KETERANGAN REKENING TERSANGKA
Rumusan tindak pidana lain yang
berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pada Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 ini
harus dikaitkan dengan Pasal 29 UU No. 31 Tahun 1999.
Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 :
“Setiap orang yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28,
Pasal 29, Pasal 35, dan Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan
atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Pasal 29 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 :
(1)
Untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum,
atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan
tersangka atau terdakwa.
(2)
Permintaan keterangan kepada
bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Gubernur Bank
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Gubernur Bank Indonesia
berkewajiban memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam
waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen
permintaan diterima secara lengkap.
(4)
Penyidik, penuntut umum, atau
hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik
tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi.
(5)
Dalam hal hasil pemeriksaan
terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas
permintaan penyidikan, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu juga
mencabut pemblokiran.
4.
SAKSI ATAU AHLI YANG TIDAK
MEMBERI KETERANGAN ATAU MEMBERIKAN KETERANGAN PALSU
Rumusan tindak pidana lain yang
berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 22 ini harus dikaitkan dengan
Pasal 35 UU No. 31 Tahun 1999.
Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 :
“Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal
29, Pasal 35, dan Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau
memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau pidana denda
paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Pasal 35 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 :
(1)
Setiap orang wajib memberi
keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara
kandung, istri, atau suami, anak dan cucu dari terdakwa.
(2)
Orang yang dibebaskan sebagai
saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diperiksa sebagai saksi
apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa.
(3)
Tanpa persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), mereka dapat memberi keterangan sebagai saksi tanpa
disumpah.
5.
ORANG YANG MEMEGANG RAHASIA
JABATAN TIDAK MEMBERIKAN KETERANGAN ATAU MEMBERI KETERANGAN PALSU
Rumusan tindak pidana lain yang
berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 22 ini harus dikaitkan dengan
Pasal 36 UU No. 31 Tahun 1999.
Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 :
“Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal
29, Pasal 35, dan Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau
memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Pasal 36 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 :
“Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan
martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama
yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.”
6.
SAKSI YANG MEMBUKA IDENTITAS
PELAPOR
Rumusan tindak pidana lain yang
berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 24 ini harus dikaitkan dengan
Pasal 36 UU No. 31 Tahun 1999.
Pasal 24 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 :
“Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah).”
Pasal 31 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 :
(1)
Dalam penyidikan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan
tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamt pelapor, atau hal-hal
lain yang memberi kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
(2)
Sebelum pemeriksaan dilakukan,
larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada saksi dan orang
lain tersebut.
II.3 HAL-HAL KHUSUS
YANG DIATUR DALAM UU 20 TAHUN 2001
1.
Pembuktian
Terbalik
Sistem Hukum Pidana
Indonesia meliputi hukum pidana materiil dan hukum pidana formal. Hukum pidana
materiil terdapat dalam KUHP maupun di luar KUHP. Kemudian hukum pidana formal
bersumber pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu, tindak pidana umum dalam KUHP
maupun tindak pidana khusus di luar KUHP sebagaimana halnya tindak pidana
korupsi mengenal hukum pembuktian.
Secara teoritik asasnya Ilmu
Pengetahuan Hukum Acara Pidana mengenal 3 (tiga) teori tentang system
pembuktian, yaitu berupa:
Kesatu, Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang Secara
Positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie) dengan tolok ukur system pembuktian tergantung kepada
eksistensi alat-alat bukti yang secara limitative disebut dalam undang-undang.
Singkatnya, undang-undang telah menentukan adanya alat-alat bukti mana dapat
dipakai hakim, cara bagaimana hakim harus mempergunakannya, kekuatan alat-alat
bukti tersebut dan bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya
perkara yang sedang diadili.
Kedua, Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim polarisasinya hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan
“keyakinan” belaka dengan tidak terikat oleh Hukum Positif (ius constitutum) yang mengatur tentang Tindak
Pidana Korupsi antara lain berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Kemudian Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71
Tahun 2000, Keppres Nomor 11 Tahun 2005, Inppres Nomor 5 Tahun 2004 dan lain
sebagainya.
Ketiga, Sistem Pembuktian menurut Undang-undang Secara
Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie) yaitu hakim hanya boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa
apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan undangundang dan
didukung pula adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti
yang bersangkutan. Ketentuan hukum positif Indonesia tentang tindak pidana
korupsi diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Pada UU
tersebut maka ketentuan mengenai pembuktian perkara korupsi terdapat dalam
Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b, Pasal 37, Pasal 37 A dan Pasal 38B.
Kebijakan legislasi pembalikan beban
pembuktian mulai terdapat dalam UU Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU
Nomor 24 Tahun 1960 menyebutkan, “Setiap tersangka wajib memberi keterangan
tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri/suami dan anak dan harta
benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh Jaksa”.
Substansi pasal ini mewajibkan tersangka memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya apabila diminta oleh Jaksa. Konsekuensinya, tanpa ada permintaan
dari Jaksa maka tersangka tidak mempunyai kesempatan untuk memberi keterangan
tentang seluruh harta bendanya.
Kebijakan legislasi dalam UU Nomor 3
Tahun 1971 secara eksplisit telah mengatur pembalikan beban pembuktian.
Ketentuan Pasal 17 UU Nomor 3 Tahun 1971, selengkapnya berbunyi sebagai
berikut:
(1)
Hakim dapat
memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan
tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi
(2)
Keterangan
tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia tidak bersalah
seperti dimaksud dalam ayat (1) hanya diperkenankan dalam hal:
a.
apabila
terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu menurut
keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian negara atau
b.
apabila
terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi
kepentingan umum.
(3)
Dalam hal
terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam
ayat (1) maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang
setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap
mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan.
(4)
Apabila
terdakwa tidak dapat memberi keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud
dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipandang sebagai hal
yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian
Penuntut Umum tetap diwajibkan memberi pembuktian bahwa terdakwa bersalah
melakukan tindak pidana korupsi
Selanjutnya ketentuan Pasal 18 UU Nomor 3 Tahun 1971 khusus
mengenai kepemilikan harta benda pelaku selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1)
Setiap
terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda isteri/suami, anak dan setiap orang, serta badan yang diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh hakim.
(2)
Bila
terdakwa tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan disidang pengadilan
tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber
penambahan kekayaannya maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk
memperkuat keterangan saksi bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana
korupsi.
Pembalikan beban pembuktian juga tetap diatur dalam UU
Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Ketentuan Pasal 37 berbunyi sebagai
berikut:
(1)
Terdakwa
mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2)
Dalam hal
terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka
pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan
bahwa dakwaan tidak terbukti.
Pembalikan beban pembuktian
sebagaimana dalam ketentuan UU Nomor 20 Tahun 2001 dapat dideskripsikan dikenal
terhadap kesalahan orang yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi
sebagaimana ketentuan Pasal 12B dan Pasal 37 UU 20 Tahun 2001. Kemudian
terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku yang diduga keras merupakan hasil
tindak pidana korupsi diatur dalam ketentuan Pasal 37A dan Pasal 38B ayat (2)
UU Nomor 20 Tahun 2001.
Secara eksplisit ketentuan Pasal 12
B UU Nomor 20 Tahun 2001 selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi ;
b. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan
oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Apabila dikaji secara selayang
pandang dimensi filosofis mengapa kebijakan legislasi menterapkan adanya
eksistensi pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi disebabkan
ada kesulitan dalam system hukum pidana Indonesia untuk melakukan pembuktian
terhadap perampasan harta kekayaan pelaku (offender) apabila dilakukan dengan
mempergunakan teori pembuktian negatif. Akibatnya, diperlukan ada aspek yuridis
luar biasa dan perangkat hukum luar biasa pula berupa sistem pembalikan beban
pembuktian sehingga tetap menjungjung tinggi asas praduga tidak bersalah dengan
tetap memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM).
2.
Adanya
Suatu Komisi Tersendiri Untuk Melakukan Pemberasaan Terhadap Tindak Pidana
Korupsi
Meskipun aturan dalam UU
No. 30 tahun 2002 mengatur juga kewenangan khusus yang dilakukan Komisi
Pemberantasan korupsi terkait penyidikan dan penuntutan perkara korupsi namun
UU ini tidak menghapus ketentuan mengenai kewengangan pejabat penyidik dari
pegawai negeri sipil untuk melakukan penyidikan perkara korupsi. Ketentuan
mengenai hal tersebut tertuang dalam Pasal 6 huruf a dan Pasal 7 huruf a.
3.
Adanya
Ketentuan tentang Kewenangan Kejaksaan dalam Melakukan Penyidikan Perkara
Korupsi.
Hal ini tertuang dalam
UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 26, yang menyebutkan
bahwa “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku,
kecuali ditentukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini.” Hukum acara yang berlaku sebagaimana dimaksud
oleh UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tersebut adalah hukum
acara pidana sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
4.
Adanya
Pengadilan Khusus, yaitu Pengadilan TIPIKOR
BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Perkembangan korupsi di Indonesia sudah ada sejak era sebelum Indonesia
Merdeka, Era Pasca Kemerdekaan, Era
Orde Baru, bahkan sekarang di masa Reformasi ini korupsi sudah mendarah daging.
Terdapat 30 jenis korupsi dalam UU
No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang dijabarkan dalam 13 pasal, korupsi dikelompokkan menjadi tujuh
kelompok, yakni:
1. Merugikan keuangan negara;
2. Suap-menyuap;
3. Penggelapan dalam jabatan;
4. Pemerasan;
5. Perbuatan curang;
6. Benturan kepentingan dalam
pengadaan;
7. Gratifikasi.
III.2 SARAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar