Sabtu, 17 November 2012

TPK Korupsi


TUGAS TINDAK PIDANA KHUSUS
TINDAK PIDANA KORUPSI










DISUSUN OLEH :
Agnes Adriani Halim             (090200139)
Esra Stephani                          (090200140)
Yessica Tan                             (090200142)
Netty Karolin H.                     (090200146)
Sherly Novitas Sari S.             (090200153)
Sahat Berkat LG                     (090200182)
Carina Etta Siahaan                (090200344)
Joice Simatupang                    (090200404)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2012

KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunianya tugas ini dapat selesai tepat pada waktunya. BAB I Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas akhir semester 6 pada mata kuliah MPH.
            Kami sebagai penyusun mengucapkan terimakasih banyak pada pihak-pihak yang telah membatu kami, terutama Bapak Mahmul Siregar selaku dosen mata kuliah MPH dan pembimbing dalam pembuatan BAB I ini karena tanpa bimbingan dan masukan dari beliau, tugas MPH ini mungkin tidak akan selesai tepat pada waktunya.
            Makalah ini tentunya masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami terima dengan tangan terbuka. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih.


Medan, 14 Juni 2012
Hormat kami,


Penyusun




 BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah.
Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari  kasus-kasus korupsi di Indonesia.
Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya dibicarakan publik, terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro ada pula yang kontra. Akan tetapi, walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan dapat merusak sendi-sendi kebersamaan bangsa.
Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak. Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri.
Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standart kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat Korupsi sudah berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma sampai abad pertengahan dan sampai sekarang.
Korupsi terjadi diberbagai negara, tak terkecuali di negara-negara maju sekalipun. Di negara Amerika Serikat sendiri yang sudah begitu maju masih ada praktek-praktek korupsi. Sebaliknya, pada masyarakat yang primitif dimana ikatan-ikatan sosial masih sangat kuat dan kontrol sosial yang efektif, korupsi relatif jarang terjadi. Tetapi dengan semakin berkembangnya sektor ekonomi dan politik serta semakin majunya usaha-usaha pembangunan dengan pembukaan-pembukaan sumber alam yang baru, maka semakin kuat dorongan individu terutama di kalangan pegawai negari untuk melakukan praktek korupsi dan usaha-usaha penggelapan.
Korupsi dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-usaha pembangunan yang diinginkan, sedangkan proses birokrasi relaif lambat, sehingga setiap orang atau badan menginginkan jalan pintas yang cepat dengan memberikan imbalan-imbalan dengan cara memberikan uang pelicin (uang sogok). Praktek ini akan berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya kontrol dari pemerintah dan masyarakat, sehingga timbul golongan pegawai yang termasuk OKB-OKB (orang kaya baru) yang memperkaya diri sendiri (ambisi material). Agar tercapai tujuan pembangunan nasional, maka mau tidak mau korupsi harus diberantas. Ada beberapa cara penanggulangan korupsi, dimulai yang sifatnya preventif maupun yang represif.

I.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.    Bagaimana kondisi tindak pidana korupsi di Indonesia?
2.    Apa saja yang dikatakan tindak pidana korupsi dan bagaimana sanksinya yang diatur dalam UU TIPIKOR?
3.    Apa sajakah hal-hal khusus yang diatur dalam UU TIPIKOR?








BAB II
PEMBAHASAN

II.1 PERKEMBANGAN KORUPSI DI INDONESIA
       I.            Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional), sebenarnya lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi, terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.
Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta “berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris “belum mengenal” atau belum memahaminya.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dan Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya.
    II.            Era Pasca Kemerdekaan
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Ada lembaga ini di kemudian dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnas.
 III.            Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
 IV.            Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggaran negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara “konsekuen” alias “kelamaan”.
II.2  TINDAK PIDANA KORUPSI DAN SANKSINYA MENURUT UU NO 20 TAHUN 2001
I.                   Macam-Macam dan Pengelompokan Korupsi
Jika dilihat berdasarkan motif perbuatannya, korupsi itu terdiri dari empat macam, yaitu:
·         Corruption by Greed, motif ini terkait dengan keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi.
·         Corruption by Opportunities, motif ini terkait dengan sistem yang memberi lubang terjadinya korupsi.
·         Corruption by Need, motif ini berhubungan dengan sikap mental yang tidak pernah cukup, penuh sikap konsumerisme dan selalu sarat kebutuhan yang tidak pernah usai.
·         Corruption by Exposures, motif ini berkaitan dengan hukuman para pelaku korupsi yg rendah.
Terdapat 30 jenis korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dijabarkan dalam 13 pasal, korupsi dikelompokkan menjadi tujuh kelompok, yakni:
1.      Merugikan keuangan negara;
2.      Suap-menyuap;
3.      Penggelapan dalam jabatan;
4.      Pemerasan;
5.      Perbuatan curang;
6.      Benturan kepentingan dalam pengadaan;
7.      Gratifikasi.
II. BENTUK-BENTUK / TINDAKAN YANG DIANGGAP SEBAGAI PERBUATAN KORUPSI
A. KORUPSI YANG BERKAITAN DENGAN KERUGIAN NEGARA
1. MELAWAN HUKUM UTUK MEMPERKAYA DIRI DAN DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA.
Rumusan korupsi pada Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999, pertama kali termuat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a UU No. 3 Tahun 1971. Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 :
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun penjara dan dendan peling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2)  Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat di jatuhkan. Lihat Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001

2.    MENYALAHGUNAKAN KEWENANGAN UNTUK MENGUNTUNGKAN DIRI DAN DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA.
Rumusan korupsi yang ada pada Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, pertama kali termuat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 1971. Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 : (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001):
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesemptan atau saran yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1000.000.000 (satu miliar rupiah)”


B. KORUPSI YANG TERKAIT DENGAN SUAP-MENYUAP
1. MENYUAP PEGAWAI NEGERI
Rumusan korupsi pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 209 ayat (1) angka 1, dan Pasal 209 ayat (1) angka 2 KUHP, yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan dalam Pasal 5 UU No. 31 Tahu 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 5 ayat 1 huruf a dan b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun  2001: (UU No. 20 Tahun2001):
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan jabatannya.
b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

2. MEMBERI HADIAH KEPADA PEGAWAI NEGERI KARENA  JABATANNYA.
Rumusan korupsi pada Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 berasal dari Pasal 1 ayat (1) huruf d UU No. 3 Tahun 1971 sebagai Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dirubah rumusannya pada UU No. 31 Tahun 1999. Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatannya atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Lihat Pasal 12 huruf a, dan huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.

3. PEGAWAI NEGERI MENERIMA SUAP
Rumusan korupsi pada Pasal 5 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 adalah rumusan Tindak Pidana Korupsi baru yang dibuat pada UU No. 20 Tahun 2001. Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

4. PEGAWAI NEGERI MENERIMA SUAP
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 419 angka 1 dan angka 2 KUHP yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971 dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001. Pasal 12 huruf a, dan huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 ;
“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan jabatannya ;
b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya ;


5. PEGAWAI NEGERI MENERIMA HADIAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN JABATANNYA
Rumusan korupsi pada Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 418 KUHP yang dirumuskan kembali dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.”

6. MENYUAP HAKIM
Rumusan korupsi pada Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 210 ayat (1) angka 1 KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 6 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dirumuskan kembali dalam UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Dipidana dengan penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang : Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.”

7. MENYUAP ADVOKAT
Rumusan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 210 ayat (1) angka 2 KUHP, yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 6 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan kembali dalam pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang : Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidangpengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.”

8. HAKIM DAN ADVOKAT MENERIMA SUAP
Rumusan korupsi yang ada pada Pasal 6 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 420 ayat (1) angka 1 dan angka 2 KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 6 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dirumuskan kembali dalam pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 6 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”



9. HAKIM MENERIMA SUAP
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf c UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 420 ayat (1) angka 1 KUHP, yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan kembali pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 12 huruf c UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahuinya atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili ;

10. ADVOKAT MENERIMA SUAP
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf d UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 420 ayat (1) angka 2 KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan kembali pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 12 huruf d UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili ;


C. KORUPSI YANG BERKAITAN DENGAN PENGGELAPAN DALAM JABATAN
1.    PEGAWAI NEGERI YANG MENGGELAPKAN UANG ATAU MEMBIARKAN PENGGELAPAN
Rumusan korupsi pada Pasal 8 UU No. 20 tahun 2001 bersal dari Pasal 415 KUHP, yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 8 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dirumuskan kembali pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 8 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling banyak 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.”

2.   PEGAWAI NEGERI MEMALSUKAN BUKU UNTUK PEMERIKSAAN ADMINISTRASI
Rumusan korupsi pada Pasal 9 UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 416 KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan kembali pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.”

3. PEGAWAI NEGERI MERUSAKKAN BUKTI
Rumusan korupsi pada Pasal 10 huruf a UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 417 KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 10 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan kembali pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 10 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja :”
Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan dimuka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya ;

4. PEGAWAI NEGERI MEMBIARKAN ORANG LAIN MERUSAKKAN BUKTI
Rumusan korupsi pada Pasal 10 huruf b UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 417 KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 10 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan kembali pada UU No. 20 Tahun2001.
Pasal 10 huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah), pegawai atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja :”
Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta surat, atau daftar tersebut ;

5. PEGAWAI NEGERI MEMBANTU ORANG LAIN MERUSAKKAN BUKTI
Rumusan korupsi pada Pasal 10 huruf c UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 417 KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan kembali pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 10 huruf c UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja :”
Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusak atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut.

D. KORUPSI YANG BERKAITAN DENGAN PERBUATAN PEMERASAN
1.    PEGAWAI NEGERI MEMERAS
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 423 KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) hruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 2 UU N. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan kembali pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) :”
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri ;
2.    PEGAWAI NEGERI MEMERAS PEGAWAI NEGERI YANG LAIN
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf f UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 425 angka 1 KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang dirumuskan kembali pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 12 huruf f UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) :”
Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada peagwai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang ;
3.    PEGAWAI NEGERI MEMERAS
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf g UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 425 angka 2 KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang dirumuskan kembali pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 12 huruf g UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) :”
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang ;
E. KORUPSI YANG BERKAITAN DENGAN PERBUATAN CURANG
1.    PEMBORONG BERBUAT CURANG
Rumusan korupsi pada Pasal 7 ayat (1) huruf a UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 387 ayat (1) KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 7 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang dirumuskan kembali pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 7 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1)   Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) :
Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam keadaan perang ;
2.    PENGAWAS PROYEK MEMBIARKAN PERBUATAN CURANG
Rumusan korupsi pada Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 387 ayat (2) KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 7 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang dirumuskan kembali pada UU No 20 Tahun 2001.
Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1)   Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) :
Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a ;
3.         REKANAN TNI / POLRI BERBUAT CURANG
Rumusan korupsi pada Pasal 7 ayat (1) huruf c UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 388 ayat (1) KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 7 UU No. 31 tahun 1999, sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang dirumuskan kembali pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 7 ayat (1) huruf c UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1)   Dipidana d            engan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) :
a.       Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang ;

4.    PENGAWASAN REKAAN TNI / POLRI BERBUAT CURANG
Rumusan korupsi pada Pasal 7 ayat (1) huruf d UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 388 ayat (2) KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 7 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan kembali pada UU No. 20 Tahun 20001.
Pasal 7 ayat (1) huruf d UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1)   Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) :
Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang dimaksud dalam huruf c.
5.    PENERIMAAN BARANG TNI / POLRI MEMBIARKAN PERBUATAN CURANG
Rumusan korupsi pada Pasal 7 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 adalah rumusan Tindak Pidana Korupsi baru yang dibuat pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 7 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(2)   Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

6.    PEGAWAI NEGERI MENYEROBOT TANAH NEGARA SEHINGGA MERUGIKAN ORANG LAIN
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf h UU No. 20 Tahun 2001berasal dari Pasal 425 angka 3 KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan kembali pada UU No.20 Tahun 2001.
Pasal 12 huruf h UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah) :”
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ;
F.   KORUPSI YANG BERKAITAN DENGAN BENTURAN KEPENTINGAN DALAM PENGADAAN
PEGAWAI NEGERI TURUT SERTA DALAM PENGADAAN YANG DIURUSNYA
Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf i UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 435 KUHP yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian dirumuskan kembali pada UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 12 huruf i UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung atau tidak langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
G.      KORUPSI YANG BERKAITAN DENGAN GRATIFIKASI
PEGAWAI NEGERI MENERIMA GRATIFIKASI DAN TIDAK LAPOR KPK
Rumusan korupsi pada Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 adalah rumusan Tindak Pidana Korupsi baru yang dibuat UU No. 20 Tahun 2001.
Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian   suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
a.    Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
b.   Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana seumur hidup atu pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah).  

Pasal 12 C UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterima kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi yaitu :
1.    MERINTANGI PROSES PEMERIKSAAN PERKARA KORUPSI
Rumusan tindak pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 21 merupakan bentuk pemidanaan yang dimuat pada UU No. 31 Tahun 1999.
Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
2.    TERSANGKA TIDAK MEMBERIKAN KETERANGAN MENGENAI KEKAYAANNYA
Rumusan tindak pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 ini harus dikaitkan dengan Pasal 28 UU No. 31 Tahun 1999.
Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Setiap orang yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, dan Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Pasal 28 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.”
3.    BANK YANG TIDAK MEMBERIKAN KETERANGAN REKENING TERSANGKA
Rumusan tindak pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pada Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 ini harus dikaitkan dengan Pasal 29 UU No. 31 Tahun 1999.
Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Setiap orang yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, dan Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Pasal 29 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1)   Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.
(2)   Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)   Gubernur Bank Indonesia berkewajiban memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap.
(4)   Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi.
(5)   Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidikan, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran.
4.    SAKSI ATAU AHLI YANG TIDAK MEMBERI KETERANGAN ATAU MEMBERIKAN KETERANGAN PALSU
Rumusan tindak pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 22 ini harus dikaitkan dengan Pasal 35 UU No. 31 Tahun 1999.
Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, dan Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Pasal 35 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1)   Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri, atau suami, anak dan cucu dari terdakwa.
(2)   Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa.
(3)   Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mereka dapat memberi keterangan sebagai saksi tanpa disumpah.
5.    ORANG YANG MEMEGANG RAHASIA JABATAN TIDAK MEMBERIKAN KETERANGAN ATAU MEMBERI KETERANGAN PALSU
Rumusan tindak pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 22 ini harus dikaitkan dengan Pasal 36 UU No. 31 Tahun 1999.
Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, dan Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Pasal 36 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.”
6.    SAKSI YANG MEMBUKA IDENTITAS PELAPOR
Rumusan tindak pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 24 ini harus dikaitkan dengan Pasal 36 UU No. 31 Tahun 1999.
Pasal 24 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
“Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).”
Pasal 31 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
(1)   Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamt pelapor, atau hal-hal lain yang memberi kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
(2)   Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.

II.3 HAL-HAL KHUSUS YANG DIATUR DALAM UU 20 TAHUN 2001
1.      Pembuktian Terbalik
Sistem Hukum Pidana Indonesia meliputi hukum pidana materiil dan hukum pidana formal. Hukum pidana materiil terdapat dalam KUHP maupun di luar KUHP. Kemudian hukum pidana formal bersumber pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu, tindak pidana umum dalam KUHP maupun tindak pidana khusus di luar KUHP sebagaimana halnya tindak pidana korupsi mengenal hukum pembuktian.
Secara teoritik asasnya Ilmu Pengetahuan Hukum Acara Pidana mengenal 3 (tiga) teori tentang system pembuktian, yaitu berupa:
Kesatu, Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie) dengan tolok ukur system pembuktian tergantung kepada eksistensi alat-alat bukti yang secara limitative disebut dalam undang-undang. Singkatnya, undang-undang telah menentukan adanya alat-alat bukti mana dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim harus mempergunakannya, kekuatan alat-alat bukti tersebut dan bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. 
Kedua, Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim polarisasinya hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” belaka dengan tidak terikat oleh Hukum Positif (ius constitutum) yang mengatur tentang Tindak Pidana Korupsi antara lain berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kemudian Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2000, Keppres Nomor 11 Tahun 2005, Inppres Nomor 5 Tahun 2004 dan lain sebagainya.
Ketiga, Sistem Pembuktian menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie) yaitu hakim hanya boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan undangundang dan didukung pula adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti yang bersangkutan. Ketentuan hukum positif Indonesia tentang tindak pidana korupsi diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Pada UU tersebut maka ketentuan mengenai pembuktian perkara korupsi terdapat dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b, Pasal 37, Pasal 37 A dan Pasal 38B.
Kebijakan legislasi pembalikan beban pembuktian mulai terdapat dalam UU Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 1960 menyebutkan, “Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri/suami dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh Jaksa”. Substansi pasal ini mewajibkan tersangka memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya apabila diminta oleh Jaksa. Konsekuensinya, tanpa ada permintaan dari Jaksa maka tersangka tidak mempunyai kesempatan untuk memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya.
Kebijakan legislasi dalam UU Nomor 3 Tahun 1971 secara eksplisit telah mengatur pembalikan beban pembuktian. Ketentuan Pasal 17 UU Nomor 3 Tahun 1971, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1)   Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi
(2)   Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat (1) hanya diperkenankan dalam hal:
a.       apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian negara atau
b.      apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum.
(3)   Dalam hal terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan.
(4)   Apabila terdakwa tidak dapat memberi keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipandang sebagai hal yang    setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap diwajibkan memberi pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi
Selanjutnya ketentuan Pasal 18 UU Nomor 3 Tahun 1971 khusus mengenai kepemilikan harta benda pelaku selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1)   Setiap terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri/suami, anak dan setiap orang, serta badan yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh hakim.
(2)   Bila terdakwa tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan disidang pengadilan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Pembalikan beban pembuktian juga tetap diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Ketentuan Pasal 37 berbunyi sebagai berikut:
(1)   Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2)   Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
Pembalikan beban pembuktian sebagaimana dalam ketentuan UU Nomor 20 Tahun 2001 dapat dideskripsikan dikenal terhadap kesalahan orang yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana ketentuan Pasal 12B dan Pasal 37 UU 20 Tahun 2001. Kemudian terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku yang diduga keras merupakan hasil tindak pidana korupsi diatur dalam ketentuan Pasal 37A dan Pasal 38B ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2001.  
Secara eksplisit ketentuan Pasal 12 B UU Nomor 20 Tahun 2001 selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi ;
b. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Apabila dikaji secara selayang pandang dimensi filosofis mengapa kebijakan legislasi menterapkan adanya eksistensi pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi disebabkan ada kesulitan dalam system hukum pidana Indonesia untuk melakukan pembuktian terhadap perampasan harta kekayaan pelaku (offender) apabila dilakukan dengan mempergunakan teori pembuktian negatif. Akibatnya, diperlukan ada aspek yuridis luar biasa dan perangkat hukum luar biasa pula berupa sistem pembalikan beban pembuktian sehingga tetap menjungjung tinggi asas praduga tidak bersalah dengan tetap memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM).
2.      Adanya Suatu Komisi Tersendiri Untuk Melakukan Pemberasaan Terhadap Tindak Pidana Korupsi
Meskipun aturan dalam UU No. 30 tahun 2002 mengatur juga kewenangan khusus yang dilakukan Komisi Pemberantasan korupsi terkait penyidikan dan penuntutan perkara korupsi namun UU ini tidak menghapus ketentuan mengenai kewengangan pejabat penyidik dari pegawai negeri sipil untuk melakukan penyidikan perkara korupsi. Ketentuan mengenai hal tersebut tertuang dalam Pasal 6 huruf a dan Pasal 7 huruf a.
3.      Adanya Ketentuan tentang Kewenangan Kejaksaan dalam Melakukan Penyidikan Perkara Korupsi.
Hal ini tertuang dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 26, yang menyebutkan bahwa “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.” Hukum acara yang berlaku sebagaimana dimaksud oleh UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tersebut adalah hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
4.      Adanya Pengadilan Khusus, yaitu Pengadilan TIPIKOR




BAB III
PENUTUP

III.1 KESIMPULAN
Perkembangan korupsi di Indonesia sudah ada sejak era sebelum Indonesia Merdeka, Era Pasca Kemerdekaan, Era Orde Baru, bahkan sekarang di masa Reformasi ini korupsi sudah mendarah daging.
Terdapat 30 jenis korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dijabarkan dalam 13 pasal, korupsi dikelompokkan menjadi tujuh kelompok, yakni:
1.      Merugikan keuangan negara;
2.      Suap-menyuap;
3.      Penggelapan dalam jabatan;
4.      Pemerasan;
5.      Perbuatan curang;
6.      Benturan kepentingan dalam pengadaan;
7.      Gratifikasi.




III.2 SARAN

Tidak ada komentar: